FOTO MASTER

FOTO MASTER

Rabu, 01 Agustus 2012

Menangkal Pengaruh Komunisme Dalam Pembinaan Iman Kristiani Di Indonesia (Suatu Tinjauan Dari Etis-Teologis Kristen)

Oleh: Pdt. Novembri Choeldahono Pengantar Tentu tidaklah mudah untuk membahas tema Dialog Publik saat ini, yaitu Peran Tokoh Agama dan Masyarakat Dalam Menghadapi Kembalinya Komunisme di Indonesia; dengan sub tema: Menangkal Pengaruh Komunisme Dalam Pembinaan Iman Kristiani Di Indonesia. Mengapa? Karena yang sedang kita hadapi adalah sebuah masalah yang memiliki multi aspek. Apalagi kita juga menyadari, bahwa sudah terjadi stigmatisasi terhadap komunis di Indonesia. Oleh sebab itu juga, kita harus hati-hati, bahwa kita sudah mengalami phobia dan traumatis terhadap segala aktivitas yang memperjuangkan Hak Azasi Manusia, sehingga kita menuduhnya atau melabelisasi sebagai neo-komunisme. Stigmatisasi ini sering dipakai oleh pemerintah yang otoriter, yang menolak kritik konstruktif pada basis keadilan dan kemanusiaan, serta penegakan HAM. Secara historis, korban-korban politik-ideologis dari suatu rezim, dapat menuntut kembali hak-hak hidup mereka yang dirampas, entah rehabilitasi atau kompensasi, ketika rezim penindas itu sudah tumbang. Kita bisa lihat bagaimana perjuangan aktivis kemanusiaan, tetap menuntut supaya Hitler dan para sekutunya diadili sebagai penjahat perang. Saudara-saudara Muslim Bosnia bersama aktivis kemanusiaan internasional, juga menuntut kejahatan perang atas pemimpin Serbia. Rezim Polpot, Pinochet, Idi Amin, dan sebagainya, sebagai contoh kongkrit. Label-label negatif (atau stigmatisasi) selalu dipakai sebagai mekanisme pertahanan diri sebuah rezim ketika rezim itu dituntut secara hukum atas kejahatan kemanusiaan/ pelanggaran HAM berat. Tentu saja saya juga tidak mau bersikap naif, bahwa tidak ada usaha kebangkitan ideologis komunisme, sama seperti di tempat lainnya, seperti kebangkitan Neo-nazi, Zionisme, dan isme-isme ultra kanan lainnya. Ada usaha-usaha politis seperti itu. Namun, bagaimana kita sekarang dapat memahami fenomena-fenomena sosial dan HAM yang terjadi sekarang ini dalam sejarah Indonesia, akan jauh lebih penting untuk rekonstruksi sebuah negara yang kuat dan moderen serta demokratis. Oleh sebab itu, langkah pertama yang sangat penting bagi gereja adalah, bagaimana memahami HAM itu, yaitu: Nilai Dualitas Intrinsik HAM : Anugerah dan Perjuangan/ Proyek Historis 1. HAM adalah Anugerah Ketika kita berbicara tentang HAM, maka kita akan menemukan nilai/ dualitas intrinsik di dalamnya. Di satu sisi, kita percaya bahwa HAM adalah anugerah penciptaan (Kej 1:26,27). Yang dimaksud dengan anugerah (given) adalah nilai yang melekat dalam hidup manusia ketika ia diciptakan/ lahir. Sebagai anugerah/ kodrat (given) dalam penciptaan, maka presuposisi teologis ini mendorong kita untuk mengakui semua manusia, baik Kristen atau Islam, hitam atau putih, Yahudi atau Arab, cacad atau normal, laki-laki atau perempuan, orang tua atau bayi, dsb. adalah sama mulia, berharga, bermartabat, dst Dari sudut pandang ini maka tidak ada satu pihak/ otoritas baik dalam bentuk lembaga keluarga, gereja, masyarakat, adat atau bahkan negara yang dapat mengklaim sebagai sumber legitimasi HAM dan juga sebaliknya ada yang dapat mengambil/ merampasnya dari manusia. Nilai intrinsik dalam penciptaan adalah HAM melekat dalam penciptaan itu sendiri. Dari perspektif ini, HAM adalah sebuah konsep egalitarian yang radikal, bahwa semua umat manusia memilikinya dan ini melampaui batas-batas geografis, agama, ras, suku, jenis kelamin, usia, dsb. serta tidak dapat dihapus atau dicabut oleh siapapun dengan cara apapun. Dari konsep ini seharusnya tidak ada pelarangan jenis kelamin, agama, rasial, dan diskriminasi lainnya untuk menentukan siapa yang boleh atau tidak boleh menjadi presiden, imam, pendeta, ulama, dosen, dsb. Mengapa? Karena nilai HAM adalah intrinsik (nilai yang dibawa/ dimiliki secara natural) dalam diri manusia. Tidak ada satu pihak/ otoritas pun (termasuk agama) yang boleh mengklaim sebagai pemberi atau pelenyap HAM tersebut. Doktrin Kristen tentang Allah sebagai pribadi (Lat. Persona) dapat kita lihat sebagai dasar teologis pengakuan atas HAM. Artinya pengakuan Allah sebagai pribadi dan bukan melulu roh menyatakan nilai kemanusiaan yang begitu luhur. Allah bukan hanya sesuatu yang metafisik melainkan pribadi. Yaitu Allah yang hadir dalam sejarah dan menjumpai umat manusia dalam Yesus. Bandingkan lebih mendalam lagi gambar Yesus yang berbeda-beda, yaitu Yesus sebagai Yesus Indian, Yesus China, Yesus Latin, Yesus Jawa, Yesus Rakyat tertindas dsb, Dengan demikian kehadiran Allah bukanlah hanya suatu permainan intelektual, melainkan personal – realitas yang hidup-- yang dapat manusia rasakan kehadiran-Nya setiap hari. Pengalaman religius manusia membentuk kepercayaan kita kepada personalitas Allah. Dalam Alkitab, kita dapat menemukan perjumpaan manusia dengan Pribadi Allah sebagai pengalaman religius yang mentransformasi hidup manusia. Misalnya perjumpaan Musa dengan Allah; panggilan Abraham; nabi Elia; Yunus yang tidak mau ke Niniwe; Yeremia; Yesaya; Paulus yang tadinya bejad dan pembunuh dapat menjadi rasul, dsb. Ini mempunyai konsekuensi bahwa setiap manusia diberkati oleh Penciptanya dengan hak-hak yang tidak dapat dihilangkan/ diasingkan seperti kehidupan, kebebasan maupun kebahagiaan. Ini menjadi kesakralan personalitas manusia. Kesakralan ini akan hilang ketika seseorang diperlakukan hanya sebagai obyek atau alat untuk mencapai tujuan. Oleh sebab itu setiap orang berhak dan layak berkata, bahwa dirinya adalah manusia dengan harkat dan martabat. 2. HAM Adalah Perjuangan Dan Proyek Historis (Historical Project & Struggle) Ketika kita berbicara bahwa bukan orang lain, keluarga, gereja, lembaga agama, masyarakat atau negara sebagai sumber/ dasar legitimasi HAM, juga harus kita akui bawa mereka memiliki kekuasaan (power) untuk memperkuat atau melenyapkan HAM. Maka nilai dualitas intrinsik HAM yang lain, selain anugerah (given) adalah bahwa HAM merupakan perjuangan sejarah (historical struggle). Karena ia menjadi perjuangan sejarah, maka HAM juga merupakan sebuah proyek sejarah (historical project). Gereja, agama, LSM, Lembaga Adat, dan negara, PBB, dsb. memiliki kekuatan dan kuasa untuk memperjuangkan, menegakkan, meningkatkan, dan menjaga HAM supaya nilai intrinsik pertama HAM sebagai anugerah (given) dapat berlaku. Namun di sisi lainnya lembaga-lembaga tersebut juga dapat melenyapkan HAM, merampasnya serta menginjak-injaknya, yang menyebabkan nilai intrinsik HAM sebagai anugerah (given) tidak berjalan/ berlaku. Itulah sebabnya HAM harus terus-menerus diperjuangkan pada level yang berbeda-beda, yaitu dari wacana sampai pada legal-politis. Kita tidak bisa berhenti pada pengakuan bahwa HAM itu anugerah Tuhan dalam penciptaan, tetapi sekaligus juga harus memperjuangkannya supaya terwujud. Kita percaya bahwa perjuangan melawan penindasan, dominasi, kekerasan, dsb. adalah perlu dan bermakna serta dapat dibenarkan. Oleh sebab itu HAM bukan hanya sebagai sikap pasrah menerima kodrat/ anugerah tetapi juga menjadi perjuangan dan proyek sejarah (historical struggle and project). Oleh sebab itu harus jelas juga agenda-agenda politik gereja yang menegakkan HAM secara historis. 3. Prima Norma: Segambar Dengan Allah (Imago Dei/ Fitrah) Ketika kita berjuang, termasuk melawan tradisi dan doktrin gereja/ agama, adat, negara, dsb. yang melenyapkan HAM, norma manakah yang harus kita utamakan? Apakah kita berpihak pada perjuangan agama kita, karena sekedar pertimbangan itu agama dan kepercayaan kita? Jika tidak, mengapa kita tidak terlibat? Dalam memperjuangkan HAM sebagai nilai intrinsik perjuangan/ proyek sejarah, kita harus memiliki norma untuk kita tegakkan. Jawabnya adalah jelas, yaitu nilai intrinsik HAM itulah yang menjadi norma utama (Prima Norma), yaitu kemanusiaan yang segambar dengan Pencipta, yang melampaui batas-batas agama, ras, suku, bangsa dan jenis kelamin. Prima norma ini harus berjalan supaya perjuangan menegakkan HAM tidak berjalan sebaliknya tetapi menuju pada nilai intrinsic HAM sejati. Dari perspektif teologia Kristen, prima norma HAM ini harus menjadi dasar bagi gereja/ LPK untuk melawan dan berjuang atas segala bentuk penindasan, dominasi, kekerasan terhadap manusia yang dilegetimasi oleh agama, ras, suku, bangsa atau seksual. Perjuangan/ proyek historis HAM adalah sebuah proses untuk merevisi, mereinterpretasi serta merekontekstualisasi segala doktrin, kepercayaan maupun perilaku manusia yang hanya menghancurkan/ melenyapkan prima norma HAM. Inilah alasannya, dalam sejarah perjuangan HAM (Civil Rights Movement), Pdt. Martin Luther King, Jr. percaya pada personalitas Allah dalam kemanusiaan masyarakat Negro maupun Putih (bnd. Yesus menolak partikularisme Yahudi dan non-Yahudi; Mahatma Gandhi; dsb). King tidak hanya berjuang bagi masyarakat Negro dan menghancurkan martabat kulit Putih, melainkan mengembalikan personalitas Allah yang hilang dalam manusia yang ditindas (Negro) dan yang menindas (Putih). Ketika orang-orang Negro ditindas, dan diberlakukan hukum yang diskriminatif-rasialis, serta manusia dipisahkan relasi sosialnya atas dasar perbedaan warna kulit, sesungguhnya ia kehilangan personalitasnya. Namun perlu diingat, bersamaan dengan itu, orang yang menyebabkan Negro kehilangan personalitasnya, sesungguhnya dia sendiri juga kehilangan personalitasnya. Bukan hanya orang yang ditindas yang kehilangan kemanusiaannya, tetapi juga si penindas. Jadi pada praktek perampasan HAM, di sana tidak ada yang lebih manusiawi, dan tidak ada kemanusiaan, baik pada orang yang ditindas maupun penindasnya. Pergumulan di atas bukan saja menjadi pergumulan eksklusif Gereja di Indonesia, tetapi juga pada tingkat internasional. Dewan Gereja-gereja se-Dunia (WCC) pada Konsultasi Teologi dan Masyarakat Sipil (Consultation on Theology and Civil Society), Juni 1995 di Evangelische Academie Loccum, menyadari bahwa Gereja perlu dan harus mencari paradigma baru untuk memberi kontribusi yang signifikan bagi penegakan hukum dan HAM.. Konsultasi menyadari apakah pengalaman-pengalaman teologis gereja selama ini dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan dan proses terwujudnya masyarakat sipil. Proses globalisasi pasar dunia, runtuhnya Blok sosialis-komunis yang dibarengi juga dengan hilangnya model-model alternatif bagi masyarakat serta munculnya krisis paradigma-paradigma tradisional merupakan elemen-elemen yang memaksa Gereja untuk melihat dan memahami bahwa ide masyarakat sipil sebagai sumber-sumber inspirasi yang baru. Hal ini mendorong kita untuk memperbarui pengharapan dan mencari jalan-jalan yang dapat membawa kita menuju kepada rekonstruksi humanitas (baca penegakan hukum dan HAM). Gereja Dan Kritik Karl Marx Terhadap Gereja Ada beberapa catatan, yaitu: 1. Jauh sebelum Karl Marx muncul, Gereja awal, ketika masih disebut/ periode ”Sekte Yahudi”, selama 325 th, sebelum menjadi agama yang syah atau Gereja yang diakui, sudah hidup secara komunal untuk mempertahankan eksistensi mereka. Contoh:”Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa dan tidak seorangpun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama .... Ia menjual ladang miliknya, lalu membawa uangnya dan meletakkannya di depan kaki rasul-rasul.” (Kisah Rasul 4:32, 37 dst.). Mereka menjual tanah pribadi mereka untuk dipersembahkan kepada gereja supaya semua hidup. Gereja mengadakan komuni bersama, supaya yang kaya dan miskin dapat makan dengan hidangan yang sama. dan komuni ini dilanjutkan sampai sekarang dalam bentuk perjamuan kasih ataupun perjamuan kudus (simbolisasi kehidupan komunal). Sistem komunal ini mulai tergusur ketika gereja menjadi Agama resmi dan diakui oleh negara bahkan menjadi agama negara di bawah pemerinthan Konstantinus Agung. Ketika menjadi agama dan ideologi negara, gereja yang tadinya tidak memiliki apa-apa, sekarang justru menjadi kaya dan memiliki aset-aset yang dapat mengontrol kehidupan negara. Itulah sebabnya, dalam sejarah gereja, gereja begitu anti terhadap komunisme-atheisme, karena penolakan atas eksistensi transendental, serta kepemilikan alat-alat produksi serta aset-aset yang dapat mengontrol perilaku umat manusia. 2. Tesis Karl Marx, bahwa manusia itu pada hakekatnya adalah mahluk sosial. Ia menjadi serakah dan serigala, karena sistem yang menciptakan manusia sosial itu menjadi serakah. Oleh sebab itu sitem itu yang harus diperangi dan diganti, supaya manusia tidak menjadi serakah. Maka semua alat produksi yang dapat mengontrol perilaku manusia harus dikuasai oleh negara. Sedangkan kapitalis, justru sebaliknya. Tesis kapitalisme, manusia itu pada hakekatnya adalah mahluk serakah. Supaya keserakahannya tidak menghancurkan hidup manusia, maka negara harus menjaga dan mengawasinya. Hak kepemilikan individu sangat diagungkan, bahkan tanah dan segalah sumber daya alam yang terdapat di dalammnya adalah milik individu dan bukan negara. Lahirlah konflik kelas, antara kelas penindas dan kelas yang ditindas – subyek yang menindas, dan obyek yang ditindas. 3. Revolusi industri, menjadikan manusia teralienasi (terasing) karena dampak sistem kapitalisme dan industrialisasi. Gereja tidak memberi kesadaran kritis terhadap umatnya, melainkan menina-bobokan. Kemiskinan dan ketidakadilan sosial hanya dilihat sebagai takdir atau pemberian Tuhan, dan bukan karena sistem dan praktek ketidakadilan yang disebabkan oleh struktur ekonomi dan sosial yang menindas. Itulah sebabnya agama hanya berfungsi sebagai opium atau candu, yang membuat manusia mengalami halusinasi, dan tidak memberikan kesadaran kritis tentang realitasnya. Kemiskinan dan kesengsaraan umat manusia bukan semata-mata karena kodrat atau takdir dari Tuhan, tetapi karena struktur sosial dan sistem ekonomi yang tidak adil, yang menciptakan kesengsaraan manusia. 4. Ajaran Karl Marx ini diideologisasi oleh Lenin menjadi ideologi negara, dan secara sadar menolak otoritas Gereja dalam aspek kehidupan negara. Oleh sebab itu, Gereja tidak boleh ikut campur dalam urusan negara, dan secara sadar menolak keberadaan tuhan (atheistis). Paham komunisme-atheisme, adalah paham yang secara sadar menolak eksistensi ilahi dalam struktur kehidupan manusia. Maka kebahagiaan atau damai dan keadilan adalah menjadi materialisme historis, yang dapat diukur dan dirasakan oleh manusia, kini dan di sini, dan bukan di sana (baca: sorga, dunia transendensi). 5. Ideologi komunisme-atheisme ini selanjutnya diorganisir menjadi kekuatan ideologi internasional oleh J. Stalin. Bahkan ia pernah sesumbar, kalau Yesus mempunyai 12 murid untuk melanjutkan missinya, berilah aku 10 orang saja yang benar-benar komunis, maka akan ku komuniskan seluruh dunia. Ideologi ini menjadi ancaman bagi kemanusiaan manusia, karena dalam prakteknya menjadi totalitarianisme dan anti demokrasi serta tidak menghargai Hak-hak azasi manusia sebagai individu yang merdeka dan berdaulat. Termasuk juga hak-hak untuk beragama dan mengekspresikan imannya dalam aksi-aksi sosialnya. 6. Kemiskinan dan praktek penindasan menjadi tempat yang subur bagi komunisme-atheisme bertumbuh dan menciptakan utopia historisnya. Oleh sebab itu, komunisme-atheisme seringkali menjadi ”opium” baru bagi orang-orang yang ingin mewujudkan utopia dan materialisme historis ini. Partai menjadi agama baru, penguasa Oligarkhi menjadi ”tuhan” dan ideologi menjadi instrumen politik-ideologis, yang menghancurkan HAM juga, pada akhirnya. Gereja Dan Pelayanan Transformatif Sebagai Metode Anti Komunisme-Atheisme Ada beberapa catanan, yaitu: 1. Setelah kegagalan Developmentalisme, Gereja-gereja justru memakai pisau analisa Karl Marx dalam berteologi dan membangun praksis sosial-politiknya. Pisau analisa Marxis ini untuk membangun basis teologi gereja dalam memerangi ketidakadilan sosial dan struktur-struktur sosial dan politik yang menindas manusia. Pendekatan baru ini dipelopori oleh Gereja-gereja Amerika Latin yang kemudian menjadi contoh bagi gereja-gereja di Asia dan Afrika dalam mencari teologi kontekstual. Dipelopori oleh Gustavo Gutierrez, setelah diterbitkan karyanya, A Theology of Liberation (1973), yang menolak pendekatan orthodox atau gereja Barat dalam berteologi. Teologi bukan hanya milik teolog-teolog atau para pendeta (kelompok elite) tetapi milik semua orang. Yang harus berteologi bukan hanya elite religius/ profesional tetapi semua orang percaya. Apakah bisa? Dari pendekatan baru ini, umat/ awam dapat berteologi, karena teologi adalah langkah kedua. Teologi sebagai refleksi kritis atas hidup dan pengalaman nyata manusia. 2. Kesaksian dan Pelayanan Transformatif Gereja Kemiskinan sosial dan ketidakadilan sosial menjadi tempat yang subur tumbuhnya komunisme-atheisme, oleh sebab itu pelayanan gereja harus lebih transformatif. Analogi model pelayanan ini ialah, apabila ada orang lapar jangan hanya diberi roti, kail atau pacul tetapi juga hak. Pemberian roti dan pancing serta keterampilan maupun lembaga-lembaga dirasakan tidak berguna bila hutan, gunung, tanah, sungai dan laut sudah dikuasai oleh pemilik modal atau kelompok tertentu. Industri kayu, industri pariwisata, shopping center, super market/ mall, dsb. Pada kenyataannya telah mempersubur pemilik modal dan bukan rakyat yang memiliki sumber kehidupan tersebut. Dalam level internasional, kekayaan itu lari ke dunia maju, karena mereka memberi hutang dan teknologi kepada negara-negara miskin. Hasil pembangunan pertama-tama lari ke pemilik modal domestik maupun investor asing, dan menyisahkan kemiskinan yang parah. Hasilnya adalah kemiskinan tetap menjadi bagian rakyat, karena mereka tidak memiliki akses dan hak mereka dirampas untuk mengontrol kebijakan-kebijakan politik yang menentukan nasib mereka. Peranan gereja dalam transformasi masyarakat diarasakan belum optimal, bahkan cenderung mempertahankan status quo (keadaan seperti apa adanya). Berdasarkan kesadaran baru inilah maka teolog-teolog pembebasan merumuskan ekklesiologi (ilmu tentang gereja) yang baru, yang lebih kontekstual. Koinonia tidak lagi dimengerti sebagai persekutuan orang-orang Kristen/ gereja saja. Ini terlalu sempit sebagai persekutuan umat Allah. Koinonia adalah persekutuan umat manusia yang baru, yang hidup dalam kasih Allah, terlepas dari apa yang menjadi agama mereka bnd. Luk. 10:25-37 tentang Orang Samaria Yang Murah Hati). Koinonia (Yunani: Persekutuan) adalah cita-cita suatu tatanan hidup manusia yang baru, yang berbeda secara kualitatif dengan masyarakat sekarang. Koinonia bukanlah usaha kembali kepada Firdaus yang hilang, melainkan menciptakan suatu tatanan persekutuan hidup manusia yang berbeda secara kualitatif. Kita tidak perlu menangisi kejatuhan manusia dalam dosa (paradigma Adam dan Hawa) ke dalam dosa, tetapi berusaha menciptakan kehidupan manusia yang berbeda secara kualitatif. Inilah panggilan keselamatan yang Yesus ajarkan kepada pengikut-Nya, supaya mewujudkan kedatangan Kerajaan Allah. Diakonia (pelayanan) bukan hanya berarti memberi makan, minum, pakaian, pembangunan, dst., tetapi bagaimana bersama masyarakat memperjuangkan hak-hak hidup, seperti hak makan, minum, pakaian, nafas, kerja, lingkungan yang sehat, yang telah hilang karena dirampas oleh pihak lain atau yang menindas (oppressor). Intinya memiliki akses untuk mengontrol kebijakan-kebijakan publik, yang menyangkut nasib hidup mereka. Kita butuh nasi, tetapi kita ingin memperolehnya dengan keadilan (justice). Kita butuh nasi, tetapi kita ingin memperolehnya dengan kebebasan (freedom). Kita butuh nasi, tetapi kita ingin memperolehnya dengan martabat dan pengharapan (dignity and hope). Hak hidup yang lebih manusiawi dan beradab inilah yang menjadi orientasi diakonia transformatif. Dalam kenyataannya, diakonia transformatif mengambil bentuk pelayanan-pelayanan pembelaan (advocacy). 3. Pelayanan Pembelaan (Advocacy) Komunisme-atheisme dilihat sebagai pembela kaum miskin dan tertindas, oleh sebab itu gereja harus hadir juga dalam keberpihakan dan pembelaan bagi kaum tertindas (the oppressed). Dari perspektif di atas maka pelayanan gereja tidak lagi dilakukan dalam bentuk pelayanan karitatif/ amal dan rohani saja, tetapi juga pelayanan pembelaan. Pelayanan ini dibutuhkan oleh masyarakat pada saat ini, karena kita menghadapi kompleksitas masalah dan sistem serta struktur masyarakat yang semakin tinggi. Pelayanan pembelaan jauh lebih dasariah atau radikal (Latin: akar), karena membantu masyarakat mempertahankan prasyarat hidupnya, seperti tanah, hak asasi, hak pendidikan, kesehatan, sosial, lingkungan hidup yang damai, sehat dan bersih. Gereja seringkali hanya membatasi pelayanan Yesus hanya dalam batas-batas kerohanian dan karitatif saja. Pemahaman ini tidak salah, namun kurang utuh. Pertanyaan seperti bagaimana hubungan Yesus dengan masalah-masalah sosial-politik (seperti imperialisme Romawi, penindasan, ketidakadilan, militerisme, dsb)?; kritik yesus terhadap pemerintah di muka bumi ini yang memerintah rakyatnya dengan tangan besi, adalah pertanyaan-pertanyaan yang membawa kita mengenal pelayanan Yesus yang utuh. Pertanyaan ini penting karena banyak orang merasa bahwa missi Yesus semata-mata rohani sama sekali tanpa hubungan dengan masalah-masalah material (sosial-ekonomi, hukum dan politik). Kenyataannya, dalam hidup-Nya Yesus banyak bergaul dengan orang-orang miskin dan lemah serta Ia memberi pengharapan bahwa Ia datang untuk membebaskan mereka dari penindasan: Roh Tuhan ada padaKu oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan dan penglihatan bagi orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang (Luk. 4: 18,19). Yesus mengkritik orang-orang kaya yang hidup mewah sementara orang-orang miskin menderita karena perbuatan mereka. Ia mengutuk orang-orang Farisi yang “mengikat beban berat lalu meletakkannya di atas bahu orang tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya” (Mat. 23:4). Pertentangan-pertentangan ini memperlihatkan kepada kita, bahwa Yesus tidak menyerah secara pasif kepada ketidakadilan dan kejahatan dalam masyarakat-Nya. Ia menentang penyalahgunaan kekuasaan. Ia disalibkan karena pertentangan itu. Seandainya Yesus hanya membicarakan hal-hal rohani yang tidak berhubungan dengan pelayanan pembelaan (baca: masalah sosial, ekonomi, hukum dan politik), maka pemimpin-pemimpin masyarakat (baik agama, sosial maupun politik) tidak takut kepada Yesus. Karena kritik Yesus mengancam kedudukan mereka, maka mereka membunuh-Nya. Yesus menentang praktek-praktek kekerasan struktural, ketidakadilan, kejahatan, keserakahan dengan jalan menderita (via dolorosa). Pertentangan Yesus bukan hanya kepada pemimpin Roma dan Yahudi saja, tetapi juga cara pemerintahan yang lazim di dunia ini. Yaitu bahwa pemerintahan bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi (Mark. 10: 42-44). Oleh sebab itulah pelayanan yang Yesus berikan adalah pelayanan pembelaan kepada mereka yang tidak mempunyai kekuatan sosial, ekonomi, politik maupun agama. Yesus mengabdikan diri untuk mendatangkan kedamaian dan keadilan. Ia tidak mau berkompromi dengan kejahatan. Ia menentang orang-orang yang menyalahgunakan kekuasan dan kedudukan serta tidak peduli terhadap nasib orang sengsara. Pelayanan pembaruan yang Yesus kerjakan adalah lengkap dan utuh. Pelayanan pembaruan yang Yesus kerjakan adalah lengkap dan utuh. Pembaruan itu berarti struktur budaya dan hati manusia diperbarui. Kedua unsur itu penting dalam keselamatan yang utuh. Yesus tidak hanya memperhatikan kehidupan individu saja, tetapi juga masyarakat, dan sebaliknya. Yesus memanggil murid-murid-Nya untuk hidup kudus (bnd. Mar. 1:19; Luk. 9:58, 62) –“… serigala mempunyai liang, … tetapi .. setiap orang yang siap membajak, tetapi menoleh ke belakang, tidak layak mengikut Aku ….” Contoh-contoh Tindakan Gereja: Superversion vs Subversion Kekuatan dan kapasitas membangun ekonomi negara tidak hanya terletak pada Pemerintahan yang bersih atau kelompok elite politik dan ekonomi saja, tetapi juga kekuatan subversif dari para buruh dan petaninya (baca: rakyat). Yang saya maksud kekuatan subversif adalah bahwa transformasi ekonomi dilakukan dari arus bawah, dimana rakyat menjadi subyek historis (penentu arah dan sistem ekonomi) dalam menentukan sejarah bangsa. Transformasi ekonomi dapat kita lakukan dari dua aras, yaitu aras atas yang biasa disebut superversion, yaitu pelaku-pelaku dan penentu sejarah hanya kelompok elite. Superversion hanya menjadikan rakyat sebagai obyek historis – korban keputusan kelompok elite, dan bukan penentu sejarah hidupnya sendiri. Seringkali transformasi superversion berlangsung hanya sebatas lip-service, karena para elite politik-ekonomi mempunyai kepentingan untuk mempertahan-kan status quo. Aras lainnya yaitu subversion, yaitu dari bawah dimana bukan hanya para elite politik-ekonomi yang menentukan mati-hidupnya suatu bangsa, tetapi rakyat juga. Pendekatan subversion menjadikan rakyat sebagai subyek historis yang sejati. Sebagai contoh buruh-buruh yang tergabung dalam MICRO Trade Union (sebuah perusahaan pulpen dan pensil) di Korea. Ketika pemilik perusahaan tersebut ditahan polisi karena kasus KKN yang merugikan negara, para buruh menolak perusahaan tersebut dijual kepada investor asing dengan harga murah, sekedar hanya untuk mendatangkan investasi, dan juga menolak adanya PHK. Mereka meminta dukungan dari pemerintah untuk mengambil alih dan memberi kesempatan kepada kaum buruh untuk meneruskan roda produksi. Para buruh bersedia bekerja dan tidak dibayar sampai lebih dari 1 ½ tahun sebagai penyertaan modal. Syntesa Kapitalisme dan Kolektivisme : Sistem Ekonomi Rakyat Subversif Gereja bisa mengembangkan solusi alternatif. Dari kasus yang dilakukan oleh CEDEPCA (sebuah Lembaga Pelayanan Gereja) di Guatemala dan El Salvador. Sistem ekonomi yang mereka bangun adalah syntesa dari kapitalisme (liberalisme) dan kolektivisme (sosialisme). Mereka membangun komunitas-komunitas basis, dan dalam komunitas basis tersebut mereka tetap memiliki hak pribadi aas alat produksi untuk melakukan kompetisi dengan orang lain. Di sisi lain mereka juga mengatur supaya ada alat produksi yang dimiliki oleh komunitas, sehingga mereka akan mempunyai lumbung gandum/ padi atau kekayaanm ekonomi yang dimiliki secara kolektif. Dari kekayaan dan alat produksi yang dimiliki secara kolektif tersebut, komunitas membangun infra struktur yang mereka butuhkan seperti sarana irigasi, pendidikan, perumahan dan lingkungan, tanaman-tanaman produktif, dsb. Akses Mengontrol Produksi: Substansi keadilan Ekonomi Rakyat Gereja harus memperjuangkan hak-hak kesejahteraan kaum buruh. Gereja-gereja di Korea membantu kaum buruh menuntut hak-hak hidupnya, tanpa harus menjadi Komunisme-atheisme. Tuntutan keadilan dan kemanusiaan yang diperjuangkan rakyat tidak berhenti pada retorika dan jargon-jargon perjuangan keadilan ekonomi rakyat, tetapi juga secara substansial dapat kita lihat. Misalnya melalui perjuangan yang begitu panjang buruh-buruh di PT KIA menuntut keadilan dan perlakuan manusiawi atas dirinya. Buruh-buruh akhirnya diperkenankan berserikat, diberikan sebuah gedung berlantai dua sebagai pusat organisasi mereka (KIA Automobile Trade Union). Buruh turut mengawasi roda produksi bukan hanya manajer perusahaan untuk mencapai target perusahaan yang berkeadilan dan berprikemanusiaan. Mereka ikut mengontrol kecepatan berputar roda produksi dari pemasangan mesin, body asesoris mobil sampai uji coba kendaraan sesuai kesepakatan. Inilah keadilan ekonomi, misalnya dicapai kesepakatan antara pengusaha dan buruh, jika roda produksi perjam menghasilkan 1 buah mobil, sehingga buruh dihormati sebagai manusia bukan mesin/ robot produksi tetapi perusahaanpun tetap untung. Tuntutan kebebasan berserikat harus juga disertai dengan kepemilikan hak menentukan nasib melalui organisasi buruh dan sistem pengorganisasiannya, memiliki gedung sendiri, mengontrol sistem produksi seperti dapat meninjau setiap bagian kapan dan jam berapa mereka kehendaki, dsb. Semua dipahami sebagai simbol keadilan dan kemanusiaan, yang berarti juga memperkuat basis dan sistem ekonomi rakyat. Penutup Komunisme-atheisme adalah ideologi yang menawarkan sebuah utopia-historis untuk menjawab kebutuhan dasar manusia. Jika gereja tidak menginginkan Komunisme-atheisme subur, maka gereja harus memberikan solusi yang tepat dan benar untuk memenuhi kebutuhan dasar kehidupan manusia. Semoga saja! *****

APA DAN MENGAPA KOMUNISME

Oleh: Prof. Drs. Totok Sarsito, SU, MA, Ph.D FISIP -Universitas Sebelas Maret Economic Interpretation of History Marx telah mendasarkan analisisnya pada faktor ekonomi dengan mengatakan bahwa: “Produksi barang dan jasa yang mendukung kehidupan manusia serta pertukaran barang dan jasa yang telah diproduksikan tersebut merupakan dasar dari seluruh proses dan lembaga sosial.” Marx mengatakan : “Bukan kesadaran manusia yang menentukan eksistensi mereka akan tetapi, sebaliknya, eksistensi sosial manusialah yang menentukan kesadaran mereka.” Teori Dialektika Hegel Hegel: “Kebenaran yang ditangkap manusia itu sebenarnya merupakan sebagian saja dari kebenaran itu. Kebenaran dalam keseluruhan hanya dapat ditangkap oleh pikiran manusia melalui suatu proses dialektika, yaitu suatu proses yang bermula dari tesis, anti tesis, dan sintesis, dan kemudian kembali pada tesis lagi. Begitu seterusnya sampai kebenaran yang sempurna (absolute idea) dapat ditangkap.” Proses Dialektika Hegel Dasar : (1) Semua itu berkembang, dan (2) Semua itu mempunyai hubugan satu dengan yang lain. Dialektika : “Suatu konsep yang telah dianggap sebagai kebenaran atau konsep A (tesis) pada hakekatnya mengandung unsur ketidakbenaran. Agar supaya pikiran manusia dapat menangkap konsep yang lebih mendekati kebenaran yang sempurna maka konsep tadi harus dihadapkan dengan konsep yang lain, yaitu konsep B (anti tesis). Dari hasil konfrontasi inilah lahir konsep C (sintesis), dan ia merupakan hasil pergumulan antara konsep A (tesis) melawan konsep B (anti tesis). Proses tesis, anti tesis, dan sintesis dinamakan gerak berdasarkan hukum dialektika. Proses ini berlangsung terus sampai suatu saat tercapai sintesis yang paling tinggi dan paling sempurna unsur kebenarannya (absolute idea).” Dialektika Dialektika merupakan gerak maju dari taraf yang lebih rendah ke taraf yang lebih tinggi, dengan suatu irama pertentangan dan persatuan. Dialektika mencakup pola ulangan dari antagonisme yang disusul oleh penyesuaian. Marx tertarik dengan dengan teori dialektikanya Hegel karena didalamnya mengandung unsur kemajuan melalui konflik atau pertentangan. Pandangan Marx Tentang Dialektika Hukum dialektika tidak hanya terjadi di alam pikir, tetapi juga didalam dunia kebendaan. Marx menolak pandangan Hegel bahwa sebab utama terjadinya proses sejarah dan kondisi material masyarakat (sosial, ekonomi, teknologi, dan militer) sesungguhnya berasal dari dan disebabkan oleh ide-ide besar dari para ahli pikir. Setiap fenomena bergerak dari taraf yang rendah ke taraf yang lebih tinggi, atau dari keadaan yang sederhana ke keadaan yang lebih kompleks. Gerak ini terjadi dengan melompat-lompat melalui gerak spiral ke atas dan tidak melalui gerak lurus keatas. Dengan tercapainya negasi tertinggi maka proses dialektika akan berhenti. Dialectical Materialism “Dialectical materialism” digunakan Marx sebagai pisau untuk menganalisis sejarah perkembangan masyarakat yang lebih dikenal dengan “historical materialism.” Marx mengatakan bahwa setiap benda atau keadaan (phenomenon) didalam tubuhnya sendiri akan selalu menumbuhkan segi-segi yang berlawanan. Segi-segi yang berlawanan itu akan saling berbenturan satu sama yang lain dan peristiwa itu disebut sebagai kontradiksi. Dari pergumulan ini akhirnya akan timbul keseimbangan, dan dengan demikian benda atau keadaan itu telah dinegasikan. Negasi Negasi merupakan kemenangan dari yang baru atas yang lama, suatu kemenangan yang dihasilkan oleh kontradiksi yang terjadi didalam tubuhnya sendiri. Negasi merupakan penghancuran atas yang lama oleh yang baru, sebagai hasil perkembangan dalam dirinya sendiri yang diakibatkan oleh kontradiksi internal (benih-benih penghancuran dari dirinya sendiri yang dimiliki oleh setiap benda atau fenomena). Dua Konsep Utama Marx Untuk mendekati persoalan dasar di bidang sosial, Marx menggunakan dua konsep utama, yaitu: “Forces of Production” : Hubungan manusia dengan alam atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah “technological know-how” “Relations of Production” : Hubungan manusia dengan manusia atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah lembaga-lembaga sosial. Hubungan Antara “Forces of Production” dan “Relations of Production” Mula-mula terdapat keseimbangan antara ilmu pengetahuan dengan organisasi sosial. Akan tetapi lambat laun timbul semacam ketidak-seimbangan atau ketertinggalan antara ilmu pengetahuan dengan lembaga-lembaga sosial. Ini disebabkan karena ilmu pengetahuan (“forces of production”) berkembang jauh lebih cepat dari pada lembaga-lembaga sosial (“relations of production”). Dinamika Perubahan Sosial Bila kekuatan produksi yang baru (new forces of production) mengalami perkembangan, hubungan produksi yang ada (existing relations of production) akan menjadi penghalang bagi penggunaannya secara memadai. Setiap sistem dengan demikian akan menjadi pemborosan bagi potensi kreatif yang telah berkembang di dalam rahimnya sendiri akan tetapi tidak diijinkan untuk lahir dan berkembang. Hanya pemilikan alat-alat produksi oleh masyarakat (negara) maka akan dapat diciptakan suatu sistem baru dalam hubungan produksi, yang didasarkan atas produksi untuk penggunaan bersama dan bukan untuk keuntungan individu, guna menandingi kekuatan produksi yang maha besar, yang potensial dan nyata dikenal oleh manusia. Alasan Revolusi Apabila “technological know-how” mulai mengatasi “lembaga-lembaga sosial” yang ada (sosial, hukum, politik), maka pemilik alat-alat produksi tidak akan melapangkan jalan secara terhormat guna membiarkan sejarah mengikuti arah yang tidak mereka inginkan. Karena ideologi kelas penguasa selalu mencerminkan sistem ekonomi yang berlaku, para pemilik alat-alat produksi percaya betul bahwa sistem yang berlaku itu secara ekonomis adalah yang paling efisien, secara sosial adalah yang paling adil, dan secara filosofis adalah yang paling selaras dengan hukum alam dan hukum kemauan Tuhan yang manapun yang mereka sembah. Oleh karena itu, mereka (para pemilik alat-alat produksi) akan memobilisir semua alat-alat superstruktur (hukum, politik, dan ideologi) yang ada untuk memblokir bertumbuhnya kekuatan yang mewakili sistem ekonomi yang lain yang secara potensial lebih progresif, sehingga akhirnya membuat “revolusi” menjadi tak terelakkan lagi Pendapat Marx tentang Kapitalisme Kapitalisme akan menemui ajalnya bukan karena disebabkan oleh komplotan subversi dari kaum revolusioner profesional, akan tetapi oleh undang-undang perkembangan dan perubahan sosial yang tidak kenal ampun, yang juga telah menghancurkan sistem-sistem sebelumnya. Semakin banyak perusahaan kapitalis mengalami keberhasilan dan semakin banyak perusahaan kapitalis diorganisir ke dalam unit-unit yang berskala luas, akan semakin tidak dapat dielakkan terciptanya penggali liang kuburnya sendiri, yaitu kaum proletar yang sadar akan kelasnya. Proses Kehancuran Kapitalisme (1) Mengadakan rasionalisasi industri atau membuat industri secara teknologis lebih efisien ; (2) Melakukan investasi modal di negara-negara yang belum berkembang yang tingkat keuntungannya masih tetap tinggi. Usaha Kaum Kapitalis Hindari Menurunnya Tingkat Keuntungan Marx beranggapan bahwa kaum kelas pekerja akan mengembangkan kesadaran kelasnya dengan secara spontan dalam perjuangannya sehari-hari untuk kehidupan mereka dan bahwa pimpinan mereka sebagian besar akan muncul dari lingkungan mereka sendiri. Lenin kurang mempercayai kemampuan kelas pekerja dalam memikirkan diri mereka sendiri. Tanpa adanya organisasi yang baik dan pelopor yang militan, kaum kelas pekerja tidak akan berhasil memenangkan perjuangannya. Pandangan Marx dan Lenin Tentang Kelas Pekerja Sumbangan Lenin Terhadap Teori Marxisme Lenin menyumbangkan konsepnya tentang “kaum revolusioner profesional.” Bahwa agar perebutan kekuasaan bisa dilakukan dengan berhasil, maka kegiatan mereka harus dilakukan dengan melalui dua cara, yaitu : Kaum kelas pekerja harus membentuk organisasi-organisasi buruh dengan tujuan ekonomi sebagai tujuan pokoknya yang bergerak secara terbuka, syah dan sejauh mungkin bersifat umum; Kegiatan Kaum Revolusioner Profesional Mereka harus merembes dan membentuk sel-sel ke dalam semua lembaga-lembaga sosial, ekonomi, politik, pendidikan yang ada dalam masyarakat, apakah lembaga-lembaga itu berupa sekolah, gereja, serikat buruh, ataupun partai politik. Terutama sekali mereka dianjurkan untuk merembes ke dalam tubuh angkatan bersenjata, polisi dan pemerintahan. Keanggotaan Kaum Revolusioner Profesional Keanggotaan kaum revolusioner profesional tidak mesti harus berasal dari golongan klas proletar. Yang paling penting mereka ini bisa melakukan tugasnya dengan baik. Organisasi kaum profesional revolusioner harus disentralisir betul dan harus senantiasa membimbing dan mengawasi organisasi-organisasi ekonomi yang dipimpin oleh kaum komunis, seperti serikat buruh, koperasi, dan lain sebagainya. Nasehat Lenin Kaum komunis hendaknya melakukan kegiatan dibawah tanah, sekalipun di tempat dimana mereka tinggal, Partai Komunis diperbolehkan hidup dengan syah. Kesempatan syah harus dipergunakan sebaik-baiknya dan sepenuhnya. Selain itu kaum komunis harus bekerja melalui organisasi front, senantiasa mengubah nama-nama petugas organisasi mereka, tetapi mereka harus selalu mengingat tujuan akhir mereka, yaitu perebutan kekuasaan secara revolusioner. Perlu Ada Perubahan Dalam Menerapkan Ajaran Marx Menurut Lenin, adanya perbedaan kondisi maka penerapan ajaran Marx perlu perubahan: (1) Industrialisasi Rusia di jaman Lenin baru sampai pada taraf separuh berkembang. Sedangkan di Eropa Barat pada jaman Marx telah sampai pada tahapan yang maju pesat dan modern (2) Kaum proletar yang merupakan golongan tertindas di Rusia kebanyakan terdiri dari kaum tani penggarap sawah. Sedangkan kaum proletar di Eropa Barat pada jaman Marx berasal dari kaum buruh. Teori dan Strategi Lenin Untuk Negara Berkembang Marx berpendapat bahwa revolusi kaum komunis akan terjadi di negara-negara yang secara ekonomis sudah maju, seperti Jerman dan Inggris, yang kapitalismenya sudah dewasa dengan sebelah kaki sudah berada di dalam liang kuburnya sendiri. Lenin setuju dengan Marx bahwa revolusi tidak akan bisa dielaki. Tetapi ia bertanya mengapa ia harus menunggu sampai kapitalisme menjadi dewasa dan kuat, mengapa tidak dipukul saja ketika ia masih dalam keadaan lemah, yaitu ketika Rusia, Asia dan Afrika masih berada dalam keadaan ekonomi yang terbelakang. Strategi Jangka Panjang Stalin Stalin mengajukan konsep empat ketegangan : 1) Ketegangan antara kaum kapitalis dan kaum proletar, 2) Ketegangan antara negara-negara imperialis dengan daerah jajahannya, 3) Ketegangan diantara negara-negara imperialis yang saling bersaing, dan 4) Ketegangan antara negara-negara komunis dengan negara-negara kapitalis. Cara Kaum Komunis Mengubah Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat 1) Mereka memperkenalkan diri mereka melalui propaganda sebagai partai rakyat yang akan mengabdi pada demokrasi dan keadilan sosial serta akan menentang segala bentuk reaksi dan ketidakadilan sosial. Mereka mengemukakan tentang perlunya diadakan perubahan di bidang pertanian dan menganjurkan perampasan tanah oleh petani, sungguhpun mereka berada didalam pemerintahan; 2) Mereka mengadakan perembesan ke dalam partai-partai politik lawan dan juga serikat-serikat buruh dan dewan-dewan prajurit dan badan-badan pemerintahan setempat. Mereka berhasil melakukan infiltrasi dan juga mengacaubalaukan kaum revolusioner sosial yang mempunyai partai besar di Rusia; 3) Mereka mempergunakan cara kekerasan dalam merebut posisi-posisi kunci di puncak kekuasaan Moskow. Tiga Sumber Kekuatan Komunis 1) Perluasan yang luar biasa dari dasar dimana kaum terpilih direkrut : Revolusi kaum komunis telah membuka dunia baru yang penuh kesempatan bagi orang-orang yang sebelumnya dikecualikan dari setiap kesempatan; 2) Industrialisasi yang sangat cepat 3) Kekuatan militer Dua Sumber Kelemahan Komunis (1) Penekanan pada konformitas (keseragaman) (2) Perbedaan antara cita-cita dan kenyataan. Pendapat Marx Tentang Negara Negara hanyalah alat pemaksa (instrument of coercion) yang pada akhirnya akan dihapuskan dan bahkan melenyap dengan sendirinya manakala masyarakat komunis sudah terbentuk. Pendapat Lenin Tentang Teori Melenyapnya Negara Diktatur proletariat (negara) merupakan organisasi pelopor dari golongan tertindas sebagai kelas penguasa untuk menghancurkan kaum penindas. Negara hanya dibutuhkan untuk sementara saja, yaitu selama musuh-musuh komunis yang harus ditindas masih ada. Stalin Tentang Syarat Bagi Melenyapnya Negara (1) Syarat intern: sama dengan Marx dan Lenin yaitu apabila sistem ekonomi telah didasarkan pada prinsip ekonomi distribusi menurut kebutuhan; (2) Syarat ekstern: apabila pengepungan oleh negara-negara kapitalis telah berakhir dan sosialisme telah mencapai kemenangannya di seluruh dunia. Sumber Utama Pustaka Ebenstein, William. (1965). Today’s ISMS: Communism, Fascism, Capitalism, Socialism. Englewood Cliffs, N.J.: 1965

PERAN TOKOH AGAMA DALAM MENGHADAPI KEMBALINYA KOMUNISME DI INDONESIA


Berbicara tentang komunis, kita sepakat bahwa ideologi komunis merupakan bahaya laten yang harus terus diwaspadai, yang dalam sejarahnya telah menorehkan tinta hitam dan sangat membahayakan bagi kelangsungan hidup bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia "Sebagai sebuah paham, komunis tidak akan berhenti dan terus akan hidup kembali melalui beragam bentuk,". Seorang pemerhati komunisme itu menambahkan, bekas anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) meski menyatakan "insyaf" masih kerap berupaya untuk kembali eksis melalui beragam bentuk semisal adanya Paguyuban Korban Rezim Baru atau Lembaga Pusat Rehabilitasi Korban Rezim Baru. "Mereka (bekas penganut komunis) memposisikan diri sebagai korban, sebagai warga negara Indonesia yang dikorbankan oleh pemerintahan rezim orde baru. Sehingga mereka menuntut untuk kembali hidup dan diakui seperti dulu. Para penganut komunis tersebut selalu memiliki skenario besar dengan melakukan apa saja guna mempengaruhi masyarakat baik melalui opini, buku, tulisan, internet dan sebagainya atau bermetamorfosis menjadi neo-komunis. Berkembangnya paham komunis di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh paham dan gerakan serupa di mancanegara. "Meski Uni Sovyet dan sejumlah negara Eropa Timur sudah tidak ada lagi hingga paham komunis pun dianggap mati, namun bukan berarti komunisme benar-benar mati, masih banyak yang menganut paham itu dalam bentuk yang beragam,". Karena itu, Indonesia sebagai negara demokratis dan berdaulat harus dapat memantapkan kembali jatidirinya dengan kembali kepada Pancasila. "Sekarang kita malu untuk bicara Pancasila, meski Pancasila merupakan ideologi atau dasar negara". Pancasila, harus kembali menjadi pegangan untuk menata bangsa ini menjadi lebih baik Dalam konteks itu, perlu memahami mengapa akhir-akhir ini dimunculkan isu Organisasi Tanpa Bentuk (OTB). Selain mengingatkan kita tentang “noktah-noktah hitam” di masa lalu, kita disadarkan tentang kegunaan sejarah. Sejarah mendidik kita untuk bertindak bijaksana. Peristiwa sejarah memang bisa menimbulkan kontroversi dan penafsiran yang subyektif dari berbagai kalangan, khususnya bagi para penulisnya. Perdebatan mengenai sejarah adalah hal yang lumrah. Apalagi terhadap peristiwa penting seperti pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 dan G 30 S/PKI di Jakarta tahun 1965. Kebengisan dan kekejaman kedua peristiwa besar itu sudah menjadi trauma bagi bangsa Indonesia. Sangatlah wajar, jika peristiwa kekejaman tersebut harus selalu diingatkan. Sudah seharusnya kalau kita kemudian tersentak ketika ada isu-isu upaya memutarbalikkan sejarah. Peristiwa Madiun, bukan hanya pemberontakan tetapi pengkhianatan PKI, bukan hanya memberontak tetapi mengkhianati perjuangan bangsa, karena waktu itu bangsa Indonesia sedang menghadapi penjajah yang ingin kembali ke Indonesia. Peristiwa itu berulang kembali pada tahun 1965, dengan korban ribuan manusia, di antaranya tujuh Pahlawan Revolusi sebagai bukti kekejaman dan kebengisan PKI. Kedua pengkhianatan PKI itulah yang paling traumatis, yang menorehkan noktah paling hitam, paling dalam, dan paling berdampak besar dan lama hingga sekarang. Dikatakan, Upaya pembelokan sejarah Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia semakin gencar dengan munculnya beragam versi dan peristiwa yang berpotensi membingungkan masyarakat. Upaya mengubah sejarah G 30 S/PKI dengan memposisikan PKI sebagai korban dan bukannya pelaku atau dalang kini terus berlanjut dan semakin intensif, seperti munculnya buku pelajaran sejarah yang tidak mencantumkan PKI sebagai pelaku dari gerakan pemberontakan pada tanggal 30 September 1965 itu.Modus dari upaya pihak-pihak yang ingin menghapus jejak sejarah itu, dilakukan dengan menimbulkan keraguan di tengah masyarakat, terhadap siapa sebenarnya yang melakukan gerakan pemberontakan pada tahun 1965 itu. Oleh karena itu, apabila ada kelompok atau golongan tertentu yang secara sistematis ingin mengkaburkan peristiwa tersebut, sudah barang tentu menjadi kewajiban kita bersama untuk mengembalikan kepada peristiwa yang sebenarnya terjadi secara faktual. Memang sangat sulit untuk mendeteksi gerakan mereka secara kasat mata, karena mereka berada disekeliling kita, bahkan mereka telah membaur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun apabila kita cermati dari cara-cara yang mereka lakukan, baik berbentuk penyampaian gagasan, ide, cara bertindak dan lain sebagainya bahkan secara terbuka membuat pengakuan kebanggaannya melalui tulisan, maka semakin meyakinkan kita bahwa mereka telah membentuk diri menjadi Komunis Gaya Baru. Untuk mengetahui indikator-indikator gerakan Komunis Gaya Baru dan langkah-langkah apa yang mesti kita tempuh, maka melalui seminar sejarah ini diharapkan dapat membedah persoalan tersebut dan dapat dirumuskan solusi yang tepat, untuk dijadikan sebagai senjata dalam rangka melawan gerakan mereka, sehingga sejarah kelam di masa lampau yang sempat menghiasi negeri ini tidak perlu terulang dan terjadi lagi. Tak lepas dari semua itu adalah hal yang sangat membahayakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara komunisme yang menganut faham atheis sangat tidak sesuai dan bertentangan dengan Pancasila terutama sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam sila ini jelas Negara menjamin kehidupan berbangsa dan bernegara dengan mengakui Tuhan (beragama) dan menolak atheisme yang diajarkan berjalan lurus dengan faham komunis. Oleh karena ini dalam kesempatan ini kami berencana mengadakan Dialog Publik dengan mengajak tokoh agama dan masyarakat guna membendung ajaran komunis agar tidak berkembang di Negara kita. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka dengan ini Lembaga Kajian Lintas Kultural telah menyelenggarakan sebuah Dialog Publik yang mengangkat tema : “Peran Tokoh Agama Dan Masyarakat Dalam Menghadapi Kembalinya Komunisme Di Indonesia”

Rabu, 27 Juni 2012

SIDANG KASUS GANDEKAN DI LUAR KOTA SOLO

Kejaksaan Negeri (Kejari) Surakarta mengusulkan sidang kasus bentrok antarkelompok massa di Kampung Gandekan, Solo awal Mei lalu dilakukan di luar Solo. Hal itu untuk menghindari keributan lanjutan. Hal itu dikatakan oleh pejabat Humas Kejari Surakarta, Wahyu Darmawan kepada wartawan, Rabu (27/6) siang. Dikatakan, usul tersebut beralasan karena dua kelompok massa yang sempat berseteru sama-sama berada di wilayah Solo. ”Persidangan baiknya di luar wilayah Solo saja, alasannya untuk menghindari gangguan keamanan,” jelasnya. Wahyu mengatakan, salah satu hal yang patut dipertimbangkan terkait karakter kelompok massa yang sangat mudah terprovokasi. Usulan tersebut menurut Wahyu, sesuai persetujuan Walikota Solo, dan Kapolresta Surakarta dengan surat tembusan yang ditujukan ke Kejari Surakarta. ”Namun kita belum bisa pastikan apakah usulan ini nanti akan disetujui Mahkamah Agung (MA) atau tidak. MA akan kami surati dulu,” jelas Wahyu mewakili Kajari Surakarta, Ricardo Sitinjak di Pengadilan Negeri (PN) Surakarta. Dikatakan, pihak kejaksaan telah menerima pelimpahan berkas dari penyidik kepolisian. Setelah dipelajari, jaksa memberikan petunjuk agar penyidik segera melakukan rekonstruksi kejadian untuk melengkapi berkas. Dalam perkara itu, ada dua tersangka, Iwan dan Candra yang diduga melakukan pengeroyokan. ”Jika usul perpindahan lokasi sidang disetujui MA, ini baru pertama di Solo. Sebuah kasus pidana selain korupsi yang harus diungsikan ke luar kota. Tunggu saja,” jelas Sitinjak. (joglosemar)

Selasa, 12 Juni 2012

REJECT VIOLENCE ON BEHALF OF RELIGION

Religious leaders and community leaders must continue to build spaces for dialogue between them to minimize the rampant violence in the name of religion these days. "There is no way to minimize violence in the name of religion than by building dialog spaces like this," said Chairman of the Institute for Cross-Cultural Studies (LKLK), M Sofwan Faisal in Public Discussion: Red and White Knitting torn in Eating Mrs. Mayar , Klaten, Saturday (12/3). In the discussion which was attended by several representatives of community organizations and cultural activists were agreed upon the necessity of building a space for dialogue on an ongoing basis. Because, every dogma and doctrine that demands unilateral claim would be potentially give birth to violence. Related reason, dialogue and religious antarpemuka needed to build tolerance. "Suppose we know the teachings of Islam Islam is kaffah go. This understanding needs to be clarified in this context that Islam is peace. Not religious coercion, "said Kholilurrohman, STAIN Surakarta lecturers who appeared as one of the speakers. Kholil boarding school nurse who also Mambaul Hisan Karanganom, Klaten, confirms that the beginning of every question of religion when religion is always opposed to religious or other beliefs. Should, strictly speaking, religion is a complement of the overall teachings of goodness and peace. "If contested, religion will always be hostile. In fact, Muhammad was never contradicting the teachings of Jesus, "he said. That is why, says Kholil, the importance of religion from the perspective of building peace. Not the other way, to trigger a violent religion. In line with other speakers of the representatives of the church, Harno. He argues that the root problem is when interreligious violence which emerges is that religious symbols, rather than religious virtue that applies universally to all mankind. - By: asa (Solopos issue of Monday, March 14, 2011, Hal.V, image: arsipberita.com)

“Partisipasi Tokoh Agama dan Masyakarat Dalam Menciptakan Stabilitas Politik Yang Kondusif”

(Sabtu, 16 Juni 2012) Indonesia sebagai sebuah bangsa memiliki nilai-nilai luhur budaya sebagai jati diri. Kerukunan beragama di tengah keanekaragaman budaya merupakan aset dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Dalam perjalanan sejarah bangsa, Pancasila telah teruji sebagai alternatif yang paling tepat untuk mempersatukan masyarakat Indonesia yang sangat majemuk di bawah suatu tatanan yang inklusif dan demokratis. Sayangnya wacana mengenai Pancasila seolah lenyap seiring dengan berlangsungnya reformasi. Berbagai macam kendala yang sering kita hadapi dalam mensukseskan kerukunan antar umat beragama di Indonesia, dari luar maupun dalam negeri kita sendiri. Namun dengan kendala tersebut warga Indonesia selalu optimis, bahwa dengan banyaknya agama yang ada di Indonesia, maka banyak pula solusi untuk menghadapi kendala-kendala tersebut. Dari berbagai pihak telah sepakat untuk mencapai tujuan kerukunan antar umat beragama di Indonesia seperti masyarakat dari berbagai golongan, pemerintah, dan organisasi-organisasi agama yang banyak berperan aktif dalam masyarakat. Keharmonisan dalam komunikasi antar sesama penganut agama adalah tujuan dari kerukunan beragama, agar terciptakan masyarakat yang bebas dari ancaman, kekerasan hingga konflik agama. Kerukunan merupakan kebutuhan bersama yang tidak dapat dihindarkan di Tengah perbedaan. Perbedaan yang ada bukan merupakan penghalang untuk hidup rukun dan berdampingan dalam bingkai persaudaraan dan persatuan. Kesadaran akan kerukunan hidup umat beragama yang harus bersifat Dinamis, Humanis dan Demokratis, agar dapat ditransformasikan kepada masyarakat dikalangan bawah sehingga, kerukunan tersebut tidak hanya dapat dirasakan/dinikmati oleh kalangan-kalangan atas/orang kaya saja. Karena, Agama tidak bisa dengan dirinya sendiri dan dianggap dapat memecahkan semua masalah. Agama hanya salah satu faktor dari kehidupan manusia. Mungkin faktor yang paling penting dan mendasar karena memberikan sebuah arti dan tujuan hidup. Tetapi sekarang kita mengetahui bahwa untuk mengerti lebih dalam tentang agama perlu segi-segi lainnya, termasuk ilmu pengetahuan dan juga filsafat. Yang paling mungkin adalah mendapatkan pengertian yang mendasar dari agama-agama. Jadi, keterbukaan satu agama terhadap agama lain sangat penting. Kalau kita masih mempunyai pandangan yang fanatik, bahwa hanya agama kita sendiri saja yang paling benar, maka itu menjadi penghalang yang paling berat dalam usaha memberikan sesuatu pandangan yang optimis. Namun ketika kontak-kontak antaragama sering kali terjadi sejak tahun 1950-an, maka muncul paradigma dan arah baru dalam pemikiran keagamaan. Orang tidak lagi bersikap negatif dan apriori terhadap agama lain. Bahkan mulai muncul pengakuan positif atas kebenaran agama lain yang pada gilirannya mendorong terjadinya saling pengertian. Di masa lampau, kita berusaha menutup diri dari tradisi agama lain dan menganggap agama selain agama kita sebagai lawan yang sesat serta penuh kecurigaan terhadap berbagai aktivitas agama lain, maka sekarang kita lebih mengedepankan sikap keterbukaan dan saling menghargai satu sama lain. Faktor Politik, Faktor ini terkadang menjadi faktor penting sebagai kendala dalam mencapai tujuan sebuah kerukunan anta umat beragama khususnya di Indonesia, jika bukan yang paling penting di antara faktor-faktor lainnya. Bisa saja sebuah kerukunan antar agama telah dibangun dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh tahun, dan dengan demikian kita pun hampir memetik buahnya. Namun tiba-tiba saja muncul kekacauan politik yang ikut memengaruhi hubungan antaragama dan bahkan memorak-porandakannya seolah petir menyambar yang dengan mudahnya merontokkan “bangunan dialog” yang sedang kita selesaikan. Walaupun berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk menuju sikap terbuka, saling pengertian dan saling menghargai antaragama, saya kira kita tidak perlu bersikap pesimis. Sebaliknya, kita perlu dan seharusnya mengembangkan optimisme dalam menghadapi dan menyongsong masa depan dialog. Para pemimpin masing-masing agama semakin sadar akan perlunya perspektif baru dalam melihat hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan, baik secara reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih erat dan memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita dewasa ini. Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin agama, tetapi juga oleh para penganut agama sampai ke akar rumput sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau jemaatnya. Kita seringkali prihatin melihat orang-orang awam yang pemahaman keagamaannya bahkan bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri. Inilah kesalahan kita bersama. Kita lebih mementingkan bangunan-bangunan fisik peribadatan dan menambah kuantitas pengikut, tetapi kurang menekankan kedalaman (intensity) keberagamaan serta kualitas mereka dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama. Masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau provokasi-provokasi. Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta dimanfaatkan, baik oleh pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik tertentu. Meskipun berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin teruji bahwa masyarakat kita sudah bisa membedakan mana wilayah agama dan mana wilayah politik. Ini merupakan ujian bagi agama autentik (authentic religion) dan penganutnya. Adalah tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin agama, dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di negeri kita untuk tidak memakai agama sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar teror untuk mengadu domba antarpenganut agama.Jika tiga hal ini bisa dikembangkan dan kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya, maka setidaknya kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih sebagai kawan dan mitra daripada sebagai lawan.

Selasa, 05 Juni 2012

EMPAT TAHAP RESOLUSI KONFLIK

Resolusi konflik merupakan suatu terminologi ilmiah yang menekankan kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai suatu proses terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik. Penjabaran tahapan proses resolusi konflik dibuat untuk empat tujuan. Pertama, konflik tidak boleh hanya dipandang sebagai suatu fenomena politik-militer, namun harus dilihat sebagai suatu fenomena sosial. Kedua, konflik memiliki suatu siklus hidup yang tidak berjalan linear. Siklus hidup suatu konflik yang spesifik sangat tergantung dari dinamika lingkungan konflik yang spesifik pula. Ketiga, sebab-sebab suatu konflik tidak dapat direduksi ke dalam suatu variabel tunggal dalam bentuk suatu proposisi kausalitas bivariat. Suatu konflik sosial harus dilihat sebagai suatu fenomena yang terjadi karena interaksi bertingkat berbagai faktor. Terakhir, resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara optimal jika dikombinasikan dengan beragam mekanisme penyelesaian konflik lain yang relevan. Suatu mekanisme resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara efektif jika dikaitkan dengan upaya komprehensif untuk mewujudkan perdamaian yang langgeng. Empat Tahap Resolusi Konflik Secara empirik, resolusi konflik dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama masih didominasi oleh strategi militer yang berupaya untuk mengendalikan kekerasan bersenjata yang terjadi. Tahap kedua memiliki orientasi politik yang bertujuan untuk memulai proses re-integrasi elit politik dari kelompok-kelompok yang bertikai. Tahap ketiga lebih bernuansa sosial dan berupaya untuk menerapkan problem-solving approach. Tahap terakhir memiliki nuansa kultural yang kental karena tahap ini bertujuan untuk melakukan perombakan-perombakan struktur sosial-budaya yang dapat mengarah kepada pembentukan komunitas perdamaian yang langgeng. Tahap I : Mencari De-eskalasi Konflik Di tahap pertama, konflik yang terjadi masih diwarnai oleh pertikaian bersenjata yang memakan korban jiwa sehingga pengusung resolusi konflik berupaya untuk menemukan waktu yang tepat untuk memulai (entry point) proses resolusi konflik. Tahap ini masih berurusan dengan adanya konflik bersenjata sehingga proses resolusi konflik terpaksa harus bergandengan tangan dengan orientasi-orientasi militer. Proses resolusi konflik dapat dimulai jika mulai didapat indikasi bahwa pihak-pihak yang bertikai akan menurunkan tingkat eskalasi konflik. Kajian tentang entry point ini didominasi oleh pendapat Zartman (1985) tentang kondisi “hurting stalemate”. Saat kondisi ini muncul, pihak-pihak yang bertikai lebih terbuka untuk menerima opsi perundingan untuk mengurangi beban biaya kekerasan yang meningkat. Pendapat ini didukung oleh Bloomfied, Nupen dan Haris (2000). Namun, ripeness thesis ini ditolak oleh Burton (1990, 88-90) yang menyatakan bahwa “problem-solving conflict resolution seeks to make possible more accurate prediction and costing, together with the discovery of viable options, that would make this ripening unnecessary”. Dengan demikian, entry point juga dapat diciptakan jika ada pihak ketiga yang dapat menurunkan eskalasi konflik (Kriesberg: 1991). De-eskalasi ini dapat dilakukan dengan melakukan intervensi militer yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga internasional berdasarkan mandat BAB VI dan VII Piagam PBB (Crocker, 1996). Operasi militer untuk menurunkan eskalasi konflik merupakan suatu tugas berat yang mendapat perhatian besar dari beberapa ageni internasional. UNHCR, misalnya, telah menerbitkan suatu panduan operasi militer pada tahun 1995 yang berjudul “A UNHCR Handbook For The Military On Humanitarian Operations”. Panduan yang sama juga telah dipublikasikan oleh Institute for International Studies, Brown University pada tahun 1997 dengan judul “A Guide to Peace Support Operations”. Tahap II: Intervensi Kemanusiaan dan Negosiasi Politik Ketika de-eskalasi konflik sudah terjadi, maka tahap kedua proses resolusi konflik dapat dimulai bersamaan dengan penerapan intervensi kemanusiaan untuk meringankan beban penderitaan korban-korban konflik (Anderson, 1996). Intervensi kemanusiaan ini dilakukan dengan menerapkan prinsip mid-war operations (Loescher dan Dwoty: 1996; Widjajanto: 2000). Prinsip ini yang merupakan salah satu perubahan dasar dari intervensi kemanusiaan di dekade 90-an, mengharuskan intervensi kemanusiaan untuk tidak lagi bergerak di lingkungan pinggiran konflik bersenjata tetapi harus bisa mendekati titik sentral peperangan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa korban sipil dan potensi pelanggaran HAM terbesar ada di pusat peperangan dan di lokasi tersebut tidak ada yang bisa melakukan operasi penyelamatan selain pihak ketiga. Dengan demikian, bentuk-bentuk aksi kemanusian minimalis yang hanya menangani masalah defisiensi komoditas pokok (commodity-based humanitarianism) dianggap tidak lagi memadai. Intervensi kemanusiaan tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan usaha untuk membuka peluang (entry) diadakannya negosiasi antar elit. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tahap ini kental dengan orientasi politik yang bertujuan untuk mencari kesepakatan politik (political settlement) antara aktor konflik. Tahap III: Problem-solving Approach Tahap ketiga dari proses resolusi konflik adalah problem-solving yang memiliki orientasi sosial. Tahap ini diarahkan menciptakan suatu kondisi yang kondusif bagi pihak-pihak antagonis untuk melakukan transformasi suatu konflik yang spesifik ke arah resolusi (Jabri: 1996, 149). Transformasi konflik dapat dikatakan berhasil jika dua kelompok yang bertikai dapat mencapai pemahaman timbal-balik (mutual understanding) tentang cara untuk mengeskplorasi alternatif-alternatif penyelesaian konflik yang dapat langsung dikerjakan oleh masing-masing komunitas. Alternatif-alternatif solusi konflik tersebut dapat digali jika ada suatu institusi resolusi konflik yang berupaya untuk menemukan sebab-sebab fundamental dari suatu konflik. Bagi Burton (1990, 202), sebab-sebab fundamental tersebut hanya dapat ditemukan jika konflik yang terjadi dianalisa dalam konteks yang menyeluruh (total environment). Aplikasi empirik dari problem-solving approach ini dikembangkan oleh misalnya, Rothman (1992, 30) yang menawarkan empat komponen utama proses problem-solving. Komponen pertama adalah masing-masing pihak mengakui legitimasi pihak lain untuk melakukan inisiatif komunikasi tingkat awal. Komponen kedua adalah masing-masing pihak memberikan informasi yang benar kepada pihak lain tentang kompleksitas konflik yang meliputi sebab-sebab konflik, trauma-trauma yang timbul selama konflik, dan kendala-kendala struktural yang akan menghambat fleksibilitas mereka dalam melakukan proses resolusi konflik. Komponen ketiga adalah kedua belah pihak secara bertahap menemukan pola interaksi yang diinginkan untuk mengkomunikasikan signal-signal perdamaian. Komponen terakhir adalah problem-solving workshop yang berupaya menyediakan suatu suasana yang kondusif bagi pihak-pihak bertikai untuk melakukan proses (tidak langsung mencari outcome) resolusi konflik. Tahap IV: Peace-building Tahap keempat adalah peace-building yang meliputi tahap transisi, tahap rekonsiliasi dan tahap konsolidasi. Tahap ini merupakan tahapan terberat dan akan memakan waktu paling lama karena memiliki orientasi struktural dan kultural. Kajian tentang tahap transisi, misalnya, dilakukan oleh Ben Reily (2000, 135-283) yang telah mengembangkan berbagai mekanisme transisi demokrasi bagi masyarakat pasca-konflik . Mekanisme transisi tersebut meliputi lima proses yaitu: (1) pemilihan bentuk struktur negara; (2) pelimpahan kedaulatan negara; (3) pembentukan sistem trias-politica; (4) pembentukan sistem pemilihan umum; (5) pemilihan bahasa nasional untuk masyarakat multi-etnik; dan (5) pembentukan sistem peradilan. Tahap kedua dari proses peace-building adalah rekonsiliasi. Rekonsiliasi perlu dilakukan jika potensi konflik terdalam yang akan dialami oleh suatu komunitas adalah rapuhnya kohesi sosial masyarakat karena beragam kekerasan struktural yang terjadi dalam dinamika sejarah komunitas tersebut. Tahap terakhir dari proses peace-building adalah tahap konsolidasi. Dalam tahap konsolidasi ini, semboyan utama yang ingin ditegakkan adalah “Quo Desiderat Pacem, Praeparet Pacem”. Semboyan ini mengharuskan aktor-aktor yang relevan untuk terus menerus melakukan intervensi perdamaian terhadap struktur sosial dengan dua tujuan utama yaitu mencegah terulangnya lagi konflik yang melibatkan kekerasan bersenjata serta mengkonstruksikan proses perdamaian langgeng yang dapat dijalankan sendiri oleh pihak-pihak yang bertikai. (Miall: 2000, 302-344). Dua tujuan tersebut dapat dicapai dengan merancang dua kegiatan. Kegiatan pertama adalah mengoperasionalkan indikator sistem peringatan dini (early warning system, Widjajanto: 2001) Sistem peringatan dini ini diharapkan dapat menyediakan ruang manuver yang cukup luas bagi beragam aktor resolusi konflik dan memperkecil kemungkinan penggunaan kekerasan bersenjata untuk mengelola konflik. Sistem peringatan dini ini juga dapat dijadikan tonggak untuk melakukan preventive diplomacy yang oleh Lund (1996, 384-385) didefinisikan sebagai: “preventive diplomacy, or conflict prevention, consists of governmental or non-governmental actions, policies, and institutions that are taken deliberately to keep particular states or organized groups within them from threatening or using organized violence, armed force, or related forms of coercion such as repression as the means to settle interstate or national political disputes, especially in situations where the existing means cannot peacefully manage the destabilizing effects of economic, social, political, and international change”. Kedua, perlu dikembangkan beragam mekanisme resolusi konflik lokal yang melibatkan sebanyak mungkin aktor-aktor non militer di berbagai tingkat eskalasi konflik (Widjajanto: 2001). Aktor-aktor resolusi konflik tersebut dapat saja melibatkan Non-Governmental Organisations (NGOs) (Aall:1996), mediator internasional (Zartman dan Touval: 1996), atau institusi keagamaan (Sampson: 1997; Lederach: 1997).

PARTISIPASI TOKOH AGAMA DALAM MENJAGA STABILITAS DAERAH

Indonesia sebagai sebuah bangsa memiliki nilai-nilai luhur budaya sebagai jati diri. Kerukunan beragama di tengah keanekaragaman budaya merupakan aset dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Dalam perjalanan sejarah bangsa, Pancasila telah teruji sebagai alternatif yang paling tepat untuk mempersatukan masyarakat Indonesia yang sangat majemuk di bawah suatu tatanan yang inklusif dan demokratis. Sayangnya wacana mengenai Pancasila seolah lenyap seiring dengan berlangsungnya reformasi. Berbagai macam kendala yang sering kita hadapi dalam mensukseskan kerukunan antar umat beragama di Indonesia, dari luar maupun dalam negeri kita sendiri. Namun dengan kendala tersebut warga Indonesia selalu optimis, bahwa dengan banyaknya agama yang ada di Indonesia, maka banyak pula solusi untuk menghadapi kendala-kendala tersebut. Dari berbagai pihak telah sepakat untuk mencapai tujuan kerukunan antar umat beragama di Indonesia seperti masyarakat dari berbagai golongan, pemerintah, dan organisasi-organisasi agama yang banyak berperan aktif dalam masyarakat. Keharmonisan dalam komunikasi antar sesama penganut agama adalah tujuan dari kerukunan beragama, agar terciptakan masyarakat yang bebas dari ancaman, kekerasan hingga konflik agama. Kerukunan merupakan kebutuhan bersama yang tidak dapat dihindarkan di Tengah perbedaan. Perbedaan yang ada bukan merupakan penghalang untuk hidup rukun dan berdampingan dalam bingkai persaudaraan dan persatuan. Kesadaran akan kerukunan hidup umat beragama yang harus bersifat Dinamis, Humanis dan Demokratis, agar dapat ditransformasikan kepada masyarakat dikalangan bawah sehingga, kerukunan tersebut tidak hanya dapat dirasakan/dinikmati oleh kalangan-kalangan atas/orang kaya saja. Karena, Agama tidak bisa dengan dirinya sendiri dan dianggap dapat memecahkan semua masalah. Agama hanya salah satu faktor dari kehidupan manusia. Mungkin faktor yang paling penting dan mendasar karena memberikan sebuah arti dan tujuan hidup. Tetapi sekarang kita mengetahui bahwa untuk mengerti lebih dalam tentang agama perlu segi-segi lainnya, termasuk ilmu pengetahuan dan juga filsafat. Yang paling mungkin adalah mendapatkan pengertian yang mendasar dari agama-agama. Jadi, keterbukaan satu agama terhadap agama lain sangat penting. Kalau kita masih mempunyai pandangan yang fanatik, bahwa hanya agama kita sendiri saja yang paling benar, maka itu menjadi penghalang yang paling berat dalam usaha memberikan sesuatu pandangan yang optimis. Namun ketika kontak-kontak antaragama sering kali terjadi sejak tahun 1950-an, maka muncul paradigma dan arah baru dalam pemikiran keagamaan. Orang tidak lagi bersikap negatif dan apriori terhadap agama lain. Bahkan mulai muncul pengakuan positif atas kebenaran agama lain yang pada gilirannya mendorong terjadinya saling pengertian. Di masa lampau, kita berusaha menutup diri dari tradisi agama lain dan menganggap agama selain agama kita sebagai lawan yang sesat serta penuh kecurigaan terhadap berbagai aktivitas agama lain, maka sekarang kita lebih mengedepankan sikap keterbukaan dan saling menghargai satu sama lain. Faktor Politik, Faktor ini terkadang menjadi faktor penting sebagai kendala dalam mencapai tujuan sebuah kerukunan anta umat beragama khususnya di Indonesia, jika bukan yang paling penting di antara faktor-faktor lainnya. Bisa saja sebuah kerukunan antar agama telah dibangun dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh tahun, dan dengan demikian kita pun hampir memetik buahnya. Namun tiba-tiba saja muncul kekacauan politik yang ikut memengaruhi hubungan antaragama dan bahkan memorak-porandakannya seolah petir menyambar yang dengan mudahnya merontokkan “bangunan dialog” yang sedang kita selesaikan. Walaupun berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk menuju sikap terbuka, saling pengertian dan saling menghargai antaragama, saya kira kita tidak perlu bersikap pesimis. Sebaliknya, kita perlu dan seharusnya mengembangkan optimisme dalam menghadapi dan menyongsong masa depan dialog. Para pemimpin masing-masing agama semakin sadar akan perlunya perspektif baru dalam melihat hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan, baik secara reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih erat dan memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita dewasa ini. Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin agama, tetapi juga oleh para penganut agama sampai ke akar rumput sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau jemaatnya. Kita seringkali prihatin melihat orang-orang awam yang pemahaman keagamaannya bahkan bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri. Inilah kesalahan kita bersama. Kita lebih mementingkan bangunan-bangunan fisik peribadatan dan menambah kuantitas pengikut, tetapi kurang menekankan kedalaman (intensity) keberagamaan serta kualitas mereka dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama. Masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau provokasi-provokasi. Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta dimanfaatkan, baik oleh pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik tertentu. Meskipun berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin teruji bahwa masyarakat kita sudah bisa membedakan mana wilayah agama dan mana wilayah politik. Ini merupakan ujian bagi agama autentik (authentic religion) dan penganutnya. Adalah tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin agama, dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di negeri kita untuk tidak memakai agama sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar teror untuk mengadu domba antarpenganut agama.Jika tiga hal ini bisa dikembangkan dan kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya, maka setidaknya kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih sebagai kawan dan mitra daripada sebagai lawan.

Rabu, 30 Mei 2012

"MERAJUT SOLO YANG TERKOYAK"

Peristiwa bentrok antar dua kelompok di Gandekan Jebres Solo beberapa waktu lalu perlu disikapi dengan resolusi konflik. Ini diperlukan agar ke depan tidak terjadi lagi antar individu yang berseteru dan merembet kepada komunitas hingga masyarakat. Karenanya perlu upaya preventif dari tokoh masyarakat. Disamping itu aparat keamanan perlu bertindak tegas, serta memberi sanksi yang menjerakan bagi individu pembuat masalah. Tentang solusi kasus Gandekan Solo merupakan manifestasi dari ‘bara api dalam sekam’ yang hidup pada setiap masyarakat. ”Oleh sebab itu manajemen komunikasi lintas budaya perlu dijadikan kebijakan pemerintah kota Solo”. Bentrok Gandekan secara laten bersumber dari stereotipe dan etnisentrisme yang berkembang dalam setiap masyarakat. Hal ini sulit diselesaikan dan hanya bisa dikelola secara budaya. Pertama dijembatani dengan komunikasi atau dialog yang panjang. Kedua ada program bersama antara dua komunitas yang bertikai. Ketiga komitmen pemerintah memfasilitasi baik dana maupun kebijakan pro budaya. ”Program seni dengan konsep multikultural akan membantu sekali sebagai salah satu resolusi konflik. Peristiwa bentrok itu adalah bentuk non verbal yang mengkomunikasikan adanya potensi konflik antar budaya di masyarakat”. Ketua Komisi Islamiyah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Surakarta Ustadz Ahmad Dahlan, mengatakan warga Solo supaya tetap tenang tidak terprovokasi terjadinya bentrok di Gandekan Jebres Solo. ”Sekarang kondisinya alhamdulillah berangsur kondusif, namun ke depannya agar tidak terjadi lagi, maka perlu upaya preventif dari tokoh masyarakat, aparat keamanan perlu bersikap tegas, perangkat hukum agar memberi sanksi bagi individu yang bersalah”. Komandan Korem (Danrem) 074/ Warastrama Kol Inf Ahmad Supriyadi mengatakan pihaknya percaya kepolisian dapat menangani masalah keamanan dalam kasus bentrok Gandekan Solo. “Kepolisian telah berhasil menurunkan tensi yang sempat menaik menyusul kesalah fahaman individu yang membawa-bawa nama kelompok. Meski demikian pasukan TNI tetap disiagakan kalau dibutuhkan tinggal telepon (on call),” ujar Danrem Kol Inf Ahmad Supriyadi. Sedangkan Kapolresta Solo Kombes Pol Asdjima’in mengatakan meski suasana di tempat kejadian perkara (TKP) di Gandekan telah semakin kondusif, namun aparat kepolisian masih menngantisipasi agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi dikemudian hari. “Di sisi lain kami menghimbau warga Solo agar tidak terpancing SMS beranting yang menghembuskan isue tidak benar. Dari kepolisian kami menjamin keamanan warga dan tidak mentolelir lagi terhadap pelaku bila akan melakukan aksi yang bisa menjurus bentrok,” ujar Kapolresta Solo. Sementara itu lokasi bentrok di Gandekan Jebres Solo berangsur-angsur pulih seperti sedia kala. Bahkan sejumlah palang-palang kayu yang semula digunakan untuk memblokade pintu-pintu gang masuk ke kawasan Gandekan dicopot. Peristiwa Gandekan secara khusus dan kondisi Solo secara umum saat ini masih belum bias dikatakan normal, bahkan selebaran yang ditempel di masjid-masjid yang memajang foto Iwan Walet dengan target “Dicari Hidup atau Mati” serta sms liar yang menghasut baik dari kalangan yang mengatasnamakan Laskar Islam ataupun dari pihak yang mengatasnamakan preman. Namun sejauh kami terjun dilapangan dalam rangka mendalami apakah benar mereka yang membuat selebaran dan ancaman itu ? Hasilnya sangat mengejutkan, bahwa ancaman yang berupa sms ataupun selebaran yang dipajang di masjid-masjid merupakan produk provokator yang tidak bertanggung jawab. Hal itu dibuktikan dengan pernyataan dari tokoh-tokoh Laskar maupun preman yang dapat kami hubungi. Namun yang wajib diwaspadai adalah provokator yang memang “memaksa” agar kasus pribadi Iwan Walet dan sejumlah Laskar tidak diseret menjadi issue SARA antara Islam dan Kristen. Karena fakta dilapangan selebaran dan sms yang beredar di masyarakat adalah kasus itu seakan-akan permasalahan agama, yaitu Islam dan Kristen. Seakan merupakan rentetan dari peristiwa Gandekan, pada pukul 17.15 wib tanggal 27 Mei 2012 hari minggu terjadi sebuah aksi yang dilakukan oleh sekitar 200 orang. Kelompok yang terakhir ini diduga merupakan gabungan antara LUIS, Tim Hisbah, Jaizur Rahmah dan Sapala Kamufisa Ponpes Al Mukmin Ngruki melakukan penjemputan paksa terhadap warga atas nama Sigit Budi Santoso ( Katholik, 30 tahun) warga RT. 05 RW. V Brondongan Serengan Solo. Meski sebenarnya Sigit tidak tahu apa-apa persoalan antara Agus adik kandungnya dengan orang Laksar. Namun hal itu tetap terjadi. Yang sangat disayangkan adalah, bagaimana dengan Polisi sebagai aparat keamanaan yang seharusnya memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada warga. ? Situasi yang dipermukaan dapat dikatakan kondusif, namun sebenarnya masih menyimpan bara dendam yang sewaktu-waktu dapat menjadi permasalahan SARA dikemudian hari. Yang harus diselesaikan oleh semua pihak adalah kelapangan dada diantara mereka ye]ang berseteru untuk menyelesaikan permasalahan dengan baik, baik keseluruhan dan dapat diterima oleh kedua belah pihak. Wallahua'lam...

Senin, 28 Mei 2012

HAKIKAT IKHLASH

Oleh : KH. Mustofa Bisri Kami, aku dan kakakku Kiai Cholil Bisri, mendengar dari guru kami Syeikh Yasin Al-Fadani dan ayah kami Kiai Bisri Mustofa --rahimahumuLlah, masing-2 berkata: Aku bertanya kpd Sayyid Guru Umar Hamdan ttg hakikat IKHLAS, dan beliau pun berkata: Aku pernah bertanya kpd guruku Syeikh Sayyid Muhammad Ali Al-Witri ttg hal itu dan beliau berkata, Aku pernah bertanya ttg hal itu kpd guruku Syeikh Abdul Ghani Al-Mujaddidi, beliau berkata: Aku pernah bertanya kepada guruku Syeikh Muhammad Abid As-Sindi Al-Anshari, beliau berkata: Aku pernah bertanya ttg hal itu kepada Syeikh Shiddiq bin Ali Al-Mizjaji, beliau berkata: Aku pernah bertanya ttg hal itu kepada ayahku, beliau berkata: Aku pernah bertanya ttg hal itu kepada Syeikh Hasan Al-Ujaimi, beliau berkata: Aku pernah bertanya ttg hal itu kepada Syeikh Ahmad al-Qasysyasyi, beliau berkata: Aku pernah bertanya ttg hal itu kepada Syeikh Ahmad Syanaawi, beliau berkat: Aku pernah bertanya ttg hal itu kepada ayahku Syeikh Ali Asy-Syanaawi, dan beliau berkata: Aku pernah bertanya ttg hal itu kepada Syeikh Abdul Wahhab Asy-Sya'rani dan beliau berkata: Aku pernah bertanya ttg hal itu kepada Al-Haafizh Jalaluddin As-Suyuthi, beliau berkata: Aku pernah bertanya ttg hal itu kepada A'isyah binti Jaarullah bin Shaleh Ath-Thabari, beliau berkata: Aku pernah bertanya ttg hal itu kepada Syeikh Ibrahim bin Muhammad bin Shiddiq dan beliau berkata: Aku bertanya ttg hal itu kpd Syeikh Abul Abbas Al-Hajjar dan beliau berkata: Aku pernah bertanya ttg hal itu kepada Syeikh Jakfar Ibn Ali AL-Hamdani, beliau berkata: Aku pernah bertanya ttg hal itu kepada Syeikh Abul Qasim bin Basykual, beliau berkata: Aku pernah bertanya ttg hal itu kepada Syeikh Qadhi Abu Bakar bin aL-'Arabi, beliau berkata: Aku pernah menanyakan hal itu kepada Syeikh Ismail bin Muhammad Al-Fadhal Al-Ashbihani, beliau berkata: Aku pernah menanyakan halitu kepada Syeikh Abu Bakar bin Ahmad bin Ali bin Khalaf dan beliau berkata: Aku pernah menanyakan hal itu kepada Syeikh Abdurrahman Al-Baihaqi dan beliau berkata: Aku pernah menanyakan hal itu kepada Syeikh Ali bin Sa'id Ats-Tsaghrai dan Syeikh Ahmad bin Muhammad bin Zakaria dan beliau berdua berkata: Kami pernah menanyakan hal itu kepada Syeikh Ali bin Ibrahim Asy-Syaqiqi dan beliau berkata: Aku pernaha menanyakan hal itu kepada Syeikh Abu Ya'qub Asy-Syaruthi, beliau berkata: Aku pernah bertanya ttg hal itu kepada Syeikh AHmad bin Ghassan dan beliau berkata: Aku pernah bertanya ttg hal itu kepada Syeikh Ahmad bin 'Atha' Al-Hujaimi, beliau berkata: Aku pernah bertanya ttg hal itu kepada Syeikh Abdul Wahid bin Zaid dan beliau berkata: Aku pernah bertanya ttg hal itu kepada Imam Hasan Al-Bashari, beliau menjawab, Aku pernah bertanya kepada shahabat Hudzaifah r.a, beliau menjawab: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW ikhlas itu apa, beliau menjawab: Aku pernah menanyakan ttg ikhlas itu kpd malaikat Jibril a.s dan beliau menjawab: Aku pernah bertanya ttg hal itu kepada Allah Rabbul 'Izzaah, dan IA menjawab: "IKHLAS ialah RAHASIA di antara rahasia-rahasiaKU yg KUtitipkan di hati hambaKU yg AKu cintai."