FOTO MASTER

FOTO MASTER

Rabu, 30 Mei 2012

"MERAJUT SOLO YANG TERKOYAK"

Peristiwa bentrok antar dua kelompok di Gandekan Jebres Solo beberapa waktu lalu perlu disikapi dengan resolusi konflik. Ini diperlukan agar ke depan tidak terjadi lagi antar individu yang berseteru dan merembet kepada komunitas hingga masyarakat. Karenanya perlu upaya preventif dari tokoh masyarakat. Disamping itu aparat keamanan perlu bertindak tegas, serta memberi sanksi yang menjerakan bagi individu pembuat masalah. Tentang solusi kasus Gandekan Solo merupakan manifestasi dari ‘bara api dalam sekam’ yang hidup pada setiap masyarakat. ”Oleh sebab itu manajemen komunikasi lintas budaya perlu dijadikan kebijakan pemerintah kota Solo”. Bentrok Gandekan secara laten bersumber dari stereotipe dan etnisentrisme yang berkembang dalam setiap masyarakat. Hal ini sulit diselesaikan dan hanya bisa dikelola secara budaya. Pertama dijembatani dengan komunikasi atau dialog yang panjang. Kedua ada program bersama antara dua komunitas yang bertikai. Ketiga komitmen pemerintah memfasilitasi baik dana maupun kebijakan pro budaya. ”Program seni dengan konsep multikultural akan membantu sekali sebagai salah satu resolusi konflik. Peristiwa bentrok itu adalah bentuk non verbal yang mengkomunikasikan adanya potensi konflik antar budaya di masyarakat”. Ketua Komisi Islamiyah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Surakarta Ustadz Ahmad Dahlan, mengatakan warga Solo supaya tetap tenang tidak terprovokasi terjadinya bentrok di Gandekan Jebres Solo. ”Sekarang kondisinya alhamdulillah berangsur kondusif, namun ke depannya agar tidak terjadi lagi, maka perlu upaya preventif dari tokoh masyarakat, aparat keamanan perlu bersikap tegas, perangkat hukum agar memberi sanksi bagi individu yang bersalah”. Komandan Korem (Danrem) 074/ Warastrama Kol Inf Ahmad Supriyadi mengatakan pihaknya percaya kepolisian dapat menangani masalah keamanan dalam kasus bentrok Gandekan Solo. “Kepolisian telah berhasil menurunkan tensi yang sempat menaik menyusul kesalah fahaman individu yang membawa-bawa nama kelompok. Meski demikian pasukan TNI tetap disiagakan kalau dibutuhkan tinggal telepon (on call),” ujar Danrem Kol Inf Ahmad Supriyadi. Sedangkan Kapolresta Solo Kombes Pol Asdjima’in mengatakan meski suasana di tempat kejadian perkara (TKP) di Gandekan telah semakin kondusif, namun aparat kepolisian masih menngantisipasi agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi dikemudian hari. “Di sisi lain kami menghimbau warga Solo agar tidak terpancing SMS beranting yang menghembuskan isue tidak benar. Dari kepolisian kami menjamin keamanan warga dan tidak mentolelir lagi terhadap pelaku bila akan melakukan aksi yang bisa menjurus bentrok,” ujar Kapolresta Solo. Sementara itu lokasi bentrok di Gandekan Jebres Solo berangsur-angsur pulih seperti sedia kala. Bahkan sejumlah palang-palang kayu yang semula digunakan untuk memblokade pintu-pintu gang masuk ke kawasan Gandekan dicopot. Peristiwa Gandekan secara khusus dan kondisi Solo secara umum saat ini masih belum bias dikatakan normal, bahkan selebaran yang ditempel di masjid-masjid yang memajang foto Iwan Walet dengan target “Dicari Hidup atau Mati” serta sms liar yang menghasut baik dari kalangan yang mengatasnamakan Laskar Islam ataupun dari pihak yang mengatasnamakan preman. Namun sejauh kami terjun dilapangan dalam rangka mendalami apakah benar mereka yang membuat selebaran dan ancaman itu ? Hasilnya sangat mengejutkan, bahwa ancaman yang berupa sms ataupun selebaran yang dipajang di masjid-masjid merupakan produk provokator yang tidak bertanggung jawab. Hal itu dibuktikan dengan pernyataan dari tokoh-tokoh Laskar maupun preman yang dapat kami hubungi. Namun yang wajib diwaspadai adalah provokator yang memang “memaksa” agar kasus pribadi Iwan Walet dan sejumlah Laskar tidak diseret menjadi issue SARA antara Islam dan Kristen. Karena fakta dilapangan selebaran dan sms yang beredar di masyarakat adalah kasus itu seakan-akan permasalahan agama, yaitu Islam dan Kristen. Seakan merupakan rentetan dari peristiwa Gandekan, pada pukul 17.15 wib tanggal 27 Mei 2012 hari minggu terjadi sebuah aksi yang dilakukan oleh sekitar 200 orang. Kelompok yang terakhir ini diduga merupakan gabungan antara LUIS, Tim Hisbah, Jaizur Rahmah dan Sapala Kamufisa Ponpes Al Mukmin Ngruki melakukan penjemputan paksa terhadap warga atas nama Sigit Budi Santoso ( Katholik, 30 tahun) warga RT. 05 RW. V Brondongan Serengan Solo. Meski sebenarnya Sigit tidak tahu apa-apa persoalan antara Agus adik kandungnya dengan orang Laksar. Namun hal itu tetap terjadi. Yang sangat disayangkan adalah, bagaimana dengan Polisi sebagai aparat keamanaan yang seharusnya memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada warga. ? Situasi yang dipermukaan dapat dikatakan kondusif, namun sebenarnya masih menyimpan bara dendam yang sewaktu-waktu dapat menjadi permasalahan SARA dikemudian hari. Yang harus diselesaikan oleh semua pihak adalah kelapangan dada diantara mereka ye]ang berseteru untuk menyelesaikan permasalahan dengan baik, baik keseluruhan dan dapat diterima oleh kedua belah pihak. Wallahua'lam...

Tidak ada komentar: