FOTO MASTER

FOTO MASTER

Rabu, 01 Agustus 2012

Menangkal Pengaruh Komunisme Dalam Pembinaan Iman Kristiani Di Indonesia (Suatu Tinjauan Dari Etis-Teologis Kristen)

Oleh: Pdt. Novembri Choeldahono Pengantar Tentu tidaklah mudah untuk membahas tema Dialog Publik saat ini, yaitu Peran Tokoh Agama dan Masyarakat Dalam Menghadapi Kembalinya Komunisme di Indonesia; dengan sub tema: Menangkal Pengaruh Komunisme Dalam Pembinaan Iman Kristiani Di Indonesia. Mengapa? Karena yang sedang kita hadapi adalah sebuah masalah yang memiliki multi aspek. Apalagi kita juga menyadari, bahwa sudah terjadi stigmatisasi terhadap komunis di Indonesia. Oleh sebab itu juga, kita harus hati-hati, bahwa kita sudah mengalami phobia dan traumatis terhadap segala aktivitas yang memperjuangkan Hak Azasi Manusia, sehingga kita menuduhnya atau melabelisasi sebagai neo-komunisme. Stigmatisasi ini sering dipakai oleh pemerintah yang otoriter, yang menolak kritik konstruktif pada basis keadilan dan kemanusiaan, serta penegakan HAM. Secara historis, korban-korban politik-ideologis dari suatu rezim, dapat menuntut kembali hak-hak hidup mereka yang dirampas, entah rehabilitasi atau kompensasi, ketika rezim penindas itu sudah tumbang. Kita bisa lihat bagaimana perjuangan aktivis kemanusiaan, tetap menuntut supaya Hitler dan para sekutunya diadili sebagai penjahat perang. Saudara-saudara Muslim Bosnia bersama aktivis kemanusiaan internasional, juga menuntut kejahatan perang atas pemimpin Serbia. Rezim Polpot, Pinochet, Idi Amin, dan sebagainya, sebagai contoh kongkrit. Label-label negatif (atau stigmatisasi) selalu dipakai sebagai mekanisme pertahanan diri sebuah rezim ketika rezim itu dituntut secara hukum atas kejahatan kemanusiaan/ pelanggaran HAM berat. Tentu saja saya juga tidak mau bersikap naif, bahwa tidak ada usaha kebangkitan ideologis komunisme, sama seperti di tempat lainnya, seperti kebangkitan Neo-nazi, Zionisme, dan isme-isme ultra kanan lainnya. Ada usaha-usaha politis seperti itu. Namun, bagaimana kita sekarang dapat memahami fenomena-fenomena sosial dan HAM yang terjadi sekarang ini dalam sejarah Indonesia, akan jauh lebih penting untuk rekonstruksi sebuah negara yang kuat dan moderen serta demokratis. Oleh sebab itu, langkah pertama yang sangat penting bagi gereja adalah, bagaimana memahami HAM itu, yaitu: Nilai Dualitas Intrinsik HAM : Anugerah dan Perjuangan/ Proyek Historis 1. HAM adalah Anugerah Ketika kita berbicara tentang HAM, maka kita akan menemukan nilai/ dualitas intrinsik di dalamnya. Di satu sisi, kita percaya bahwa HAM adalah anugerah penciptaan (Kej 1:26,27). Yang dimaksud dengan anugerah (given) adalah nilai yang melekat dalam hidup manusia ketika ia diciptakan/ lahir. Sebagai anugerah/ kodrat (given) dalam penciptaan, maka presuposisi teologis ini mendorong kita untuk mengakui semua manusia, baik Kristen atau Islam, hitam atau putih, Yahudi atau Arab, cacad atau normal, laki-laki atau perempuan, orang tua atau bayi, dsb. adalah sama mulia, berharga, bermartabat, dst Dari sudut pandang ini maka tidak ada satu pihak/ otoritas baik dalam bentuk lembaga keluarga, gereja, masyarakat, adat atau bahkan negara yang dapat mengklaim sebagai sumber legitimasi HAM dan juga sebaliknya ada yang dapat mengambil/ merampasnya dari manusia. Nilai intrinsik dalam penciptaan adalah HAM melekat dalam penciptaan itu sendiri. Dari perspektif ini, HAM adalah sebuah konsep egalitarian yang radikal, bahwa semua umat manusia memilikinya dan ini melampaui batas-batas geografis, agama, ras, suku, jenis kelamin, usia, dsb. serta tidak dapat dihapus atau dicabut oleh siapapun dengan cara apapun. Dari konsep ini seharusnya tidak ada pelarangan jenis kelamin, agama, rasial, dan diskriminasi lainnya untuk menentukan siapa yang boleh atau tidak boleh menjadi presiden, imam, pendeta, ulama, dosen, dsb. Mengapa? Karena nilai HAM adalah intrinsik (nilai yang dibawa/ dimiliki secara natural) dalam diri manusia. Tidak ada satu pihak/ otoritas pun (termasuk agama) yang boleh mengklaim sebagai pemberi atau pelenyap HAM tersebut. Doktrin Kristen tentang Allah sebagai pribadi (Lat. Persona) dapat kita lihat sebagai dasar teologis pengakuan atas HAM. Artinya pengakuan Allah sebagai pribadi dan bukan melulu roh menyatakan nilai kemanusiaan yang begitu luhur. Allah bukan hanya sesuatu yang metafisik melainkan pribadi. Yaitu Allah yang hadir dalam sejarah dan menjumpai umat manusia dalam Yesus. Bandingkan lebih mendalam lagi gambar Yesus yang berbeda-beda, yaitu Yesus sebagai Yesus Indian, Yesus China, Yesus Latin, Yesus Jawa, Yesus Rakyat tertindas dsb, Dengan demikian kehadiran Allah bukanlah hanya suatu permainan intelektual, melainkan personal – realitas yang hidup-- yang dapat manusia rasakan kehadiran-Nya setiap hari. Pengalaman religius manusia membentuk kepercayaan kita kepada personalitas Allah. Dalam Alkitab, kita dapat menemukan perjumpaan manusia dengan Pribadi Allah sebagai pengalaman religius yang mentransformasi hidup manusia. Misalnya perjumpaan Musa dengan Allah; panggilan Abraham; nabi Elia; Yunus yang tidak mau ke Niniwe; Yeremia; Yesaya; Paulus yang tadinya bejad dan pembunuh dapat menjadi rasul, dsb. Ini mempunyai konsekuensi bahwa setiap manusia diberkati oleh Penciptanya dengan hak-hak yang tidak dapat dihilangkan/ diasingkan seperti kehidupan, kebebasan maupun kebahagiaan. Ini menjadi kesakralan personalitas manusia. Kesakralan ini akan hilang ketika seseorang diperlakukan hanya sebagai obyek atau alat untuk mencapai tujuan. Oleh sebab itu setiap orang berhak dan layak berkata, bahwa dirinya adalah manusia dengan harkat dan martabat. 2. HAM Adalah Perjuangan Dan Proyek Historis (Historical Project & Struggle) Ketika kita berbicara bahwa bukan orang lain, keluarga, gereja, lembaga agama, masyarakat atau negara sebagai sumber/ dasar legitimasi HAM, juga harus kita akui bawa mereka memiliki kekuasaan (power) untuk memperkuat atau melenyapkan HAM. Maka nilai dualitas intrinsik HAM yang lain, selain anugerah (given) adalah bahwa HAM merupakan perjuangan sejarah (historical struggle). Karena ia menjadi perjuangan sejarah, maka HAM juga merupakan sebuah proyek sejarah (historical project). Gereja, agama, LSM, Lembaga Adat, dan negara, PBB, dsb. memiliki kekuatan dan kuasa untuk memperjuangkan, menegakkan, meningkatkan, dan menjaga HAM supaya nilai intrinsik pertama HAM sebagai anugerah (given) dapat berlaku. Namun di sisi lainnya lembaga-lembaga tersebut juga dapat melenyapkan HAM, merampasnya serta menginjak-injaknya, yang menyebabkan nilai intrinsik HAM sebagai anugerah (given) tidak berjalan/ berlaku. Itulah sebabnya HAM harus terus-menerus diperjuangkan pada level yang berbeda-beda, yaitu dari wacana sampai pada legal-politis. Kita tidak bisa berhenti pada pengakuan bahwa HAM itu anugerah Tuhan dalam penciptaan, tetapi sekaligus juga harus memperjuangkannya supaya terwujud. Kita percaya bahwa perjuangan melawan penindasan, dominasi, kekerasan, dsb. adalah perlu dan bermakna serta dapat dibenarkan. Oleh sebab itu HAM bukan hanya sebagai sikap pasrah menerima kodrat/ anugerah tetapi juga menjadi perjuangan dan proyek sejarah (historical struggle and project). Oleh sebab itu harus jelas juga agenda-agenda politik gereja yang menegakkan HAM secara historis. 3. Prima Norma: Segambar Dengan Allah (Imago Dei/ Fitrah) Ketika kita berjuang, termasuk melawan tradisi dan doktrin gereja/ agama, adat, negara, dsb. yang melenyapkan HAM, norma manakah yang harus kita utamakan? Apakah kita berpihak pada perjuangan agama kita, karena sekedar pertimbangan itu agama dan kepercayaan kita? Jika tidak, mengapa kita tidak terlibat? Dalam memperjuangkan HAM sebagai nilai intrinsik perjuangan/ proyek sejarah, kita harus memiliki norma untuk kita tegakkan. Jawabnya adalah jelas, yaitu nilai intrinsik HAM itulah yang menjadi norma utama (Prima Norma), yaitu kemanusiaan yang segambar dengan Pencipta, yang melampaui batas-batas agama, ras, suku, bangsa dan jenis kelamin. Prima norma ini harus berjalan supaya perjuangan menegakkan HAM tidak berjalan sebaliknya tetapi menuju pada nilai intrinsic HAM sejati. Dari perspektif teologia Kristen, prima norma HAM ini harus menjadi dasar bagi gereja/ LPK untuk melawan dan berjuang atas segala bentuk penindasan, dominasi, kekerasan terhadap manusia yang dilegetimasi oleh agama, ras, suku, bangsa atau seksual. Perjuangan/ proyek historis HAM adalah sebuah proses untuk merevisi, mereinterpretasi serta merekontekstualisasi segala doktrin, kepercayaan maupun perilaku manusia yang hanya menghancurkan/ melenyapkan prima norma HAM. Inilah alasannya, dalam sejarah perjuangan HAM (Civil Rights Movement), Pdt. Martin Luther King, Jr. percaya pada personalitas Allah dalam kemanusiaan masyarakat Negro maupun Putih (bnd. Yesus menolak partikularisme Yahudi dan non-Yahudi; Mahatma Gandhi; dsb). King tidak hanya berjuang bagi masyarakat Negro dan menghancurkan martabat kulit Putih, melainkan mengembalikan personalitas Allah yang hilang dalam manusia yang ditindas (Negro) dan yang menindas (Putih). Ketika orang-orang Negro ditindas, dan diberlakukan hukum yang diskriminatif-rasialis, serta manusia dipisahkan relasi sosialnya atas dasar perbedaan warna kulit, sesungguhnya ia kehilangan personalitasnya. Namun perlu diingat, bersamaan dengan itu, orang yang menyebabkan Negro kehilangan personalitasnya, sesungguhnya dia sendiri juga kehilangan personalitasnya. Bukan hanya orang yang ditindas yang kehilangan kemanusiaannya, tetapi juga si penindas. Jadi pada praktek perampasan HAM, di sana tidak ada yang lebih manusiawi, dan tidak ada kemanusiaan, baik pada orang yang ditindas maupun penindasnya. Pergumulan di atas bukan saja menjadi pergumulan eksklusif Gereja di Indonesia, tetapi juga pada tingkat internasional. Dewan Gereja-gereja se-Dunia (WCC) pada Konsultasi Teologi dan Masyarakat Sipil (Consultation on Theology and Civil Society), Juni 1995 di Evangelische Academie Loccum, menyadari bahwa Gereja perlu dan harus mencari paradigma baru untuk memberi kontribusi yang signifikan bagi penegakan hukum dan HAM.. Konsultasi menyadari apakah pengalaman-pengalaman teologis gereja selama ini dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan dan proses terwujudnya masyarakat sipil. Proses globalisasi pasar dunia, runtuhnya Blok sosialis-komunis yang dibarengi juga dengan hilangnya model-model alternatif bagi masyarakat serta munculnya krisis paradigma-paradigma tradisional merupakan elemen-elemen yang memaksa Gereja untuk melihat dan memahami bahwa ide masyarakat sipil sebagai sumber-sumber inspirasi yang baru. Hal ini mendorong kita untuk memperbarui pengharapan dan mencari jalan-jalan yang dapat membawa kita menuju kepada rekonstruksi humanitas (baca penegakan hukum dan HAM). Gereja Dan Kritik Karl Marx Terhadap Gereja Ada beberapa catatan, yaitu: 1. Jauh sebelum Karl Marx muncul, Gereja awal, ketika masih disebut/ periode ”Sekte Yahudi”, selama 325 th, sebelum menjadi agama yang syah atau Gereja yang diakui, sudah hidup secara komunal untuk mempertahankan eksistensi mereka. Contoh:”Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa dan tidak seorangpun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama .... Ia menjual ladang miliknya, lalu membawa uangnya dan meletakkannya di depan kaki rasul-rasul.” (Kisah Rasul 4:32, 37 dst.). Mereka menjual tanah pribadi mereka untuk dipersembahkan kepada gereja supaya semua hidup. Gereja mengadakan komuni bersama, supaya yang kaya dan miskin dapat makan dengan hidangan yang sama. dan komuni ini dilanjutkan sampai sekarang dalam bentuk perjamuan kasih ataupun perjamuan kudus (simbolisasi kehidupan komunal). Sistem komunal ini mulai tergusur ketika gereja menjadi Agama resmi dan diakui oleh negara bahkan menjadi agama negara di bawah pemerinthan Konstantinus Agung. Ketika menjadi agama dan ideologi negara, gereja yang tadinya tidak memiliki apa-apa, sekarang justru menjadi kaya dan memiliki aset-aset yang dapat mengontrol kehidupan negara. Itulah sebabnya, dalam sejarah gereja, gereja begitu anti terhadap komunisme-atheisme, karena penolakan atas eksistensi transendental, serta kepemilikan alat-alat produksi serta aset-aset yang dapat mengontrol perilaku umat manusia. 2. Tesis Karl Marx, bahwa manusia itu pada hakekatnya adalah mahluk sosial. Ia menjadi serakah dan serigala, karena sistem yang menciptakan manusia sosial itu menjadi serakah. Oleh sebab itu sitem itu yang harus diperangi dan diganti, supaya manusia tidak menjadi serakah. Maka semua alat produksi yang dapat mengontrol perilaku manusia harus dikuasai oleh negara. Sedangkan kapitalis, justru sebaliknya. Tesis kapitalisme, manusia itu pada hakekatnya adalah mahluk serakah. Supaya keserakahannya tidak menghancurkan hidup manusia, maka negara harus menjaga dan mengawasinya. Hak kepemilikan individu sangat diagungkan, bahkan tanah dan segalah sumber daya alam yang terdapat di dalammnya adalah milik individu dan bukan negara. Lahirlah konflik kelas, antara kelas penindas dan kelas yang ditindas – subyek yang menindas, dan obyek yang ditindas. 3. Revolusi industri, menjadikan manusia teralienasi (terasing) karena dampak sistem kapitalisme dan industrialisasi. Gereja tidak memberi kesadaran kritis terhadap umatnya, melainkan menina-bobokan. Kemiskinan dan ketidakadilan sosial hanya dilihat sebagai takdir atau pemberian Tuhan, dan bukan karena sistem dan praktek ketidakadilan yang disebabkan oleh struktur ekonomi dan sosial yang menindas. Itulah sebabnya agama hanya berfungsi sebagai opium atau candu, yang membuat manusia mengalami halusinasi, dan tidak memberikan kesadaran kritis tentang realitasnya. Kemiskinan dan kesengsaraan umat manusia bukan semata-mata karena kodrat atau takdir dari Tuhan, tetapi karena struktur sosial dan sistem ekonomi yang tidak adil, yang menciptakan kesengsaraan manusia. 4. Ajaran Karl Marx ini diideologisasi oleh Lenin menjadi ideologi negara, dan secara sadar menolak otoritas Gereja dalam aspek kehidupan negara. Oleh sebab itu, Gereja tidak boleh ikut campur dalam urusan negara, dan secara sadar menolak keberadaan tuhan (atheistis). Paham komunisme-atheisme, adalah paham yang secara sadar menolak eksistensi ilahi dalam struktur kehidupan manusia. Maka kebahagiaan atau damai dan keadilan adalah menjadi materialisme historis, yang dapat diukur dan dirasakan oleh manusia, kini dan di sini, dan bukan di sana (baca: sorga, dunia transendensi). 5. Ideologi komunisme-atheisme ini selanjutnya diorganisir menjadi kekuatan ideologi internasional oleh J. Stalin. Bahkan ia pernah sesumbar, kalau Yesus mempunyai 12 murid untuk melanjutkan missinya, berilah aku 10 orang saja yang benar-benar komunis, maka akan ku komuniskan seluruh dunia. Ideologi ini menjadi ancaman bagi kemanusiaan manusia, karena dalam prakteknya menjadi totalitarianisme dan anti demokrasi serta tidak menghargai Hak-hak azasi manusia sebagai individu yang merdeka dan berdaulat. Termasuk juga hak-hak untuk beragama dan mengekspresikan imannya dalam aksi-aksi sosialnya. 6. Kemiskinan dan praktek penindasan menjadi tempat yang subur bagi komunisme-atheisme bertumbuh dan menciptakan utopia historisnya. Oleh sebab itu, komunisme-atheisme seringkali menjadi ”opium” baru bagi orang-orang yang ingin mewujudkan utopia dan materialisme historis ini. Partai menjadi agama baru, penguasa Oligarkhi menjadi ”tuhan” dan ideologi menjadi instrumen politik-ideologis, yang menghancurkan HAM juga, pada akhirnya. Gereja Dan Pelayanan Transformatif Sebagai Metode Anti Komunisme-Atheisme Ada beberapa catanan, yaitu: 1. Setelah kegagalan Developmentalisme, Gereja-gereja justru memakai pisau analisa Karl Marx dalam berteologi dan membangun praksis sosial-politiknya. Pisau analisa Marxis ini untuk membangun basis teologi gereja dalam memerangi ketidakadilan sosial dan struktur-struktur sosial dan politik yang menindas manusia. Pendekatan baru ini dipelopori oleh Gereja-gereja Amerika Latin yang kemudian menjadi contoh bagi gereja-gereja di Asia dan Afrika dalam mencari teologi kontekstual. Dipelopori oleh Gustavo Gutierrez, setelah diterbitkan karyanya, A Theology of Liberation (1973), yang menolak pendekatan orthodox atau gereja Barat dalam berteologi. Teologi bukan hanya milik teolog-teolog atau para pendeta (kelompok elite) tetapi milik semua orang. Yang harus berteologi bukan hanya elite religius/ profesional tetapi semua orang percaya. Apakah bisa? Dari pendekatan baru ini, umat/ awam dapat berteologi, karena teologi adalah langkah kedua. Teologi sebagai refleksi kritis atas hidup dan pengalaman nyata manusia. 2. Kesaksian dan Pelayanan Transformatif Gereja Kemiskinan sosial dan ketidakadilan sosial menjadi tempat yang subur tumbuhnya komunisme-atheisme, oleh sebab itu pelayanan gereja harus lebih transformatif. Analogi model pelayanan ini ialah, apabila ada orang lapar jangan hanya diberi roti, kail atau pacul tetapi juga hak. Pemberian roti dan pancing serta keterampilan maupun lembaga-lembaga dirasakan tidak berguna bila hutan, gunung, tanah, sungai dan laut sudah dikuasai oleh pemilik modal atau kelompok tertentu. Industri kayu, industri pariwisata, shopping center, super market/ mall, dsb. Pada kenyataannya telah mempersubur pemilik modal dan bukan rakyat yang memiliki sumber kehidupan tersebut. Dalam level internasional, kekayaan itu lari ke dunia maju, karena mereka memberi hutang dan teknologi kepada negara-negara miskin. Hasil pembangunan pertama-tama lari ke pemilik modal domestik maupun investor asing, dan menyisahkan kemiskinan yang parah. Hasilnya adalah kemiskinan tetap menjadi bagian rakyat, karena mereka tidak memiliki akses dan hak mereka dirampas untuk mengontrol kebijakan-kebijakan politik yang menentukan nasib mereka. Peranan gereja dalam transformasi masyarakat diarasakan belum optimal, bahkan cenderung mempertahankan status quo (keadaan seperti apa adanya). Berdasarkan kesadaran baru inilah maka teolog-teolog pembebasan merumuskan ekklesiologi (ilmu tentang gereja) yang baru, yang lebih kontekstual. Koinonia tidak lagi dimengerti sebagai persekutuan orang-orang Kristen/ gereja saja. Ini terlalu sempit sebagai persekutuan umat Allah. Koinonia adalah persekutuan umat manusia yang baru, yang hidup dalam kasih Allah, terlepas dari apa yang menjadi agama mereka bnd. Luk. 10:25-37 tentang Orang Samaria Yang Murah Hati). Koinonia (Yunani: Persekutuan) adalah cita-cita suatu tatanan hidup manusia yang baru, yang berbeda secara kualitatif dengan masyarakat sekarang. Koinonia bukanlah usaha kembali kepada Firdaus yang hilang, melainkan menciptakan suatu tatanan persekutuan hidup manusia yang berbeda secara kualitatif. Kita tidak perlu menangisi kejatuhan manusia dalam dosa (paradigma Adam dan Hawa) ke dalam dosa, tetapi berusaha menciptakan kehidupan manusia yang berbeda secara kualitatif. Inilah panggilan keselamatan yang Yesus ajarkan kepada pengikut-Nya, supaya mewujudkan kedatangan Kerajaan Allah. Diakonia (pelayanan) bukan hanya berarti memberi makan, minum, pakaian, pembangunan, dst., tetapi bagaimana bersama masyarakat memperjuangkan hak-hak hidup, seperti hak makan, minum, pakaian, nafas, kerja, lingkungan yang sehat, yang telah hilang karena dirampas oleh pihak lain atau yang menindas (oppressor). Intinya memiliki akses untuk mengontrol kebijakan-kebijakan publik, yang menyangkut nasib hidup mereka. Kita butuh nasi, tetapi kita ingin memperolehnya dengan keadilan (justice). Kita butuh nasi, tetapi kita ingin memperolehnya dengan kebebasan (freedom). Kita butuh nasi, tetapi kita ingin memperolehnya dengan martabat dan pengharapan (dignity and hope). Hak hidup yang lebih manusiawi dan beradab inilah yang menjadi orientasi diakonia transformatif. Dalam kenyataannya, diakonia transformatif mengambil bentuk pelayanan-pelayanan pembelaan (advocacy). 3. Pelayanan Pembelaan (Advocacy) Komunisme-atheisme dilihat sebagai pembela kaum miskin dan tertindas, oleh sebab itu gereja harus hadir juga dalam keberpihakan dan pembelaan bagi kaum tertindas (the oppressed). Dari perspektif di atas maka pelayanan gereja tidak lagi dilakukan dalam bentuk pelayanan karitatif/ amal dan rohani saja, tetapi juga pelayanan pembelaan. Pelayanan ini dibutuhkan oleh masyarakat pada saat ini, karena kita menghadapi kompleksitas masalah dan sistem serta struktur masyarakat yang semakin tinggi. Pelayanan pembelaan jauh lebih dasariah atau radikal (Latin: akar), karena membantu masyarakat mempertahankan prasyarat hidupnya, seperti tanah, hak asasi, hak pendidikan, kesehatan, sosial, lingkungan hidup yang damai, sehat dan bersih. Gereja seringkali hanya membatasi pelayanan Yesus hanya dalam batas-batas kerohanian dan karitatif saja. Pemahaman ini tidak salah, namun kurang utuh. Pertanyaan seperti bagaimana hubungan Yesus dengan masalah-masalah sosial-politik (seperti imperialisme Romawi, penindasan, ketidakadilan, militerisme, dsb)?; kritik yesus terhadap pemerintah di muka bumi ini yang memerintah rakyatnya dengan tangan besi, adalah pertanyaan-pertanyaan yang membawa kita mengenal pelayanan Yesus yang utuh. Pertanyaan ini penting karena banyak orang merasa bahwa missi Yesus semata-mata rohani sama sekali tanpa hubungan dengan masalah-masalah material (sosial-ekonomi, hukum dan politik). Kenyataannya, dalam hidup-Nya Yesus banyak bergaul dengan orang-orang miskin dan lemah serta Ia memberi pengharapan bahwa Ia datang untuk membebaskan mereka dari penindasan: Roh Tuhan ada padaKu oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan dan penglihatan bagi orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang (Luk. 4: 18,19). Yesus mengkritik orang-orang kaya yang hidup mewah sementara orang-orang miskin menderita karena perbuatan mereka. Ia mengutuk orang-orang Farisi yang “mengikat beban berat lalu meletakkannya di atas bahu orang tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya” (Mat. 23:4). Pertentangan-pertentangan ini memperlihatkan kepada kita, bahwa Yesus tidak menyerah secara pasif kepada ketidakadilan dan kejahatan dalam masyarakat-Nya. Ia menentang penyalahgunaan kekuasaan. Ia disalibkan karena pertentangan itu. Seandainya Yesus hanya membicarakan hal-hal rohani yang tidak berhubungan dengan pelayanan pembelaan (baca: masalah sosial, ekonomi, hukum dan politik), maka pemimpin-pemimpin masyarakat (baik agama, sosial maupun politik) tidak takut kepada Yesus. Karena kritik Yesus mengancam kedudukan mereka, maka mereka membunuh-Nya. Yesus menentang praktek-praktek kekerasan struktural, ketidakadilan, kejahatan, keserakahan dengan jalan menderita (via dolorosa). Pertentangan Yesus bukan hanya kepada pemimpin Roma dan Yahudi saja, tetapi juga cara pemerintahan yang lazim di dunia ini. Yaitu bahwa pemerintahan bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi (Mark. 10: 42-44). Oleh sebab itulah pelayanan yang Yesus berikan adalah pelayanan pembelaan kepada mereka yang tidak mempunyai kekuatan sosial, ekonomi, politik maupun agama. Yesus mengabdikan diri untuk mendatangkan kedamaian dan keadilan. Ia tidak mau berkompromi dengan kejahatan. Ia menentang orang-orang yang menyalahgunakan kekuasan dan kedudukan serta tidak peduli terhadap nasib orang sengsara. Pelayanan pembaruan yang Yesus kerjakan adalah lengkap dan utuh. Pelayanan pembaruan yang Yesus kerjakan adalah lengkap dan utuh. Pembaruan itu berarti struktur budaya dan hati manusia diperbarui. Kedua unsur itu penting dalam keselamatan yang utuh. Yesus tidak hanya memperhatikan kehidupan individu saja, tetapi juga masyarakat, dan sebaliknya. Yesus memanggil murid-murid-Nya untuk hidup kudus (bnd. Mar. 1:19; Luk. 9:58, 62) –“… serigala mempunyai liang, … tetapi .. setiap orang yang siap membajak, tetapi menoleh ke belakang, tidak layak mengikut Aku ….” Contoh-contoh Tindakan Gereja: Superversion vs Subversion Kekuatan dan kapasitas membangun ekonomi negara tidak hanya terletak pada Pemerintahan yang bersih atau kelompok elite politik dan ekonomi saja, tetapi juga kekuatan subversif dari para buruh dan petaninya (baca: rakyat). Yang saya maksud kekuatan subversif adalah bahwa transformasi ekonomi dilakukan dari arus bawah, dimana rakyat menjadi subyek historis (penentu arah dan sistem ekonomi) dalam menentukan sejarah bangsa. Transformasi ekonomi dapat kita lakukan dari dua aras, yaitu aras atas yang biasa disebut superversion, yaitu pelaku-pelaku dan penentu sejarah hanya kelompok elite. Superversion hanya menjadikan rakyat sebagai obyek historis – korban keputusan kelompok elite, dan bukan penentu sejarah hidupnya sendiri. Seringkali transformasi superversion berlangsung hanya sebatas lip-service, karena para elite politik-ekonomi mempunyai kepentingan untuk mempertahan-kan status quo. Aras lainnya yaitu subversion, yaitu dari bawah dimana bukan hanya para elite politik-ekonomi yang menentukan mati-hidupnya suatu bangsa, tetapi rakyat juga. Pendekatan subversion menjadikan rakyat sebagai subyek historis yang sejati. Sebagai contoh buruh-buruh yang tergabung dalam MICRO Trade Union (sebuah perusahaan pulpen dan pensil) di Korea. Ketika pemilik perusahaan tersebut ditahan polisi karena kasus KKN yang merugikan negara, para buruh menolak perusahaan tersebut dijual kepada investor asing dengan harga murah, sekedar hanya untuk mendatangkan investasi, dan juga menolak adanya PHK. Mereka meminta dukungan dari pemerintah untuk mengambil alih dan memberi kesempatan kepada kaum buruh untuk meneruskan roda produksi. Para buruh bersedia bekerja dan tidak dibayar sampai lebih dari 1 ½ tahun sebagai penyertaan modal. Syntesa Kapitalisme dan Kolektivisme : Sistem Ekonomi Rakyat Subversif Gereja bisa mengembangkan solusi alternatif. Dari kasus yang dilakukan oleh CEDEPCA (sebuah Lembaga Pelayanan Gereja) di Guatemala dan El Salvador. Sistem ekonomi yang mereka bangun adalah syntesa dari kapitalisme (liberalisme) dan kolektivisme (sosialisme). Mereka membangun komunitas-komunitas basis, dan dalam komunitas basis tersebut mereka tetap memiliki hak pribadi aas alat produksi untuk melakukan kompetisi dengan orang lain. Di sisi lain mereka juga mengatur supaya ada alat produksi yang dimiliki oleh komunitas, sehingga mereka akan mempunyai lumbung gandum/ padi atau kekayaanm ekonomi yang dimiliki secara kolektif. Dari kekayaan dan alat produksi yang dimiliki secara kolektif tersebut, komunitas membangun infra struktur yang mereka butuhkan seperti sarana irigasi, pendidikan, perumahan dan lingkungan, tanaman-tanaman produktif, dsb. Akses Mengontrol Produksi: Substansi keadilan Ekonomi Rakyat Gereja harus memperjuangkan hak-hak kesejahteraan kaum buruh. Gereja-gereja di Korea membantu kaum buruh menuntut hak-hak hidupnya, tanpa harus menjadi Komunisme-atheisme. Tuntutan keadilan dan kemanusiaan yang diperjuangkan rakyat tidak berhenti pada retorika dan jargon-jargon perjuangan keadilan ekonomi rakyat, tetapi juga secara substansial dapat kita lihat. Misalnya melalui perjuangan yang begitu panjang buruh-buruh di PT KIA menuntut keadilan dan perlakuan manusiawi atas dirinya. Buruh-buruh akhirnya diperkenankan berserikat, diberikan sebuah gedung berlantai dua sebagai pusat organisasi mereka (KIA Automobile Trade Union). Buruh turut mengawasi roda produksi bukan hanya manajer perusahaan untuk mencapai target perusahaan yang berkeadilan dan berprikemanusiaan. Mereka ikut mengontrol kecepatan berputar roda produksi dari pemasangan mesin, body asesoris mobil sampai uji coba kendaraan sesuai kesepakatan. Inilah keadilan ekonomi, misalnya dicapai kesepakatan antara pengusaha dan buruh, jika roda produksi perjam menghasilkan 1 buah mobil, sehingga buruh dihormati sebagai manusia bukan mesin/ robot produksi tetapi perusahaanpun tetap untung. Tuntutan kebebasan berserikat harus juga disertai dengan kepemilikan hak menentukan nasib melalui organisasi buruh dan sistem pengorganisasiannya, memiliki gedung sendiri, mengontrol sistem produksi seperti dapat meninjau setiap bagian kapan dan jam berapa mereka kehendaki, dsb. Semua dipahami sebagai simbol keadilan dan kemanusiaan, yang berarti juga memperkuat basis dan sistem ekonomi rakyat. Penutup Komunisme-atheisme adalah ideologi yang menawarkan sebuah utopia-historis untuk menjawab kebutuhan dasar manusia. Jika gereja tidak menginginkan Komunisme-atheisme subur, maka gereja harus memberikan solusi yang tepat dan benar untuk memenuhi kebutuhan dasar kehidupan manusia. Semoga saja! *****

Tidak ada komentar: