FOTO MASTER

FOTO MASTER

Rabu, 01 Agustus 2012

Menangkal Pengaruh Komunisme Dalam Pembinaan Iman Kristiani Di Indonesia (Suatu Tinjauan Dari Etis-Teologis Kristen)

Oleh: Pdt. Novembri Choeldahono Pengantar Tentu tidaklah mudah untuk membahas tema Dialog Publik saat ini, yaitu Peran Tokoh Agama dan Masyarakat Dalam Menghadapi Kembalinya Komunisme di Indonesia; dengan sub tema: Menangkal Pengaruh Komunisme Dalam Pembinaan Iman Kristiani Di Indonesia. Mengapa? Karena yang sedang kita hadapi adalah sebuah masalah yang memiliki multi aspek. Apalagi kita juga menyadari, bahwa sudah terjadi stigmatisasi terhadap komunis di Indonesia. Oleh sebab itu juga, kita harus hati-hati, bahwa kita sudah mengalami phobia dan traumatis terhadap segala aktivitas yang memperjuangkan Hak Azasi Manusia, sehingga kita menuduhnya atau melabelisasi sebagai neo-komunisme. Stigmatisasi ini sering dipakai oleh pemerintah yang otoriter, yang menolak kritik konstruktif pada basis keadilan dan kemanusiaan, serta penegakan HAM. Secara historis, korban-korban politik-ideologis dari suatu rezim, dapat menuntut kembali hak-hak hidup mereka yang dirampas, entah rehabilitasi atau kompensasi, ketika rezim penindas itu sudah tumbang. Kita bisa lihat bagaimana perjuangan aktivis kemanusiaan, tetap menuntut supaya Hitler dan para sekutunya diadili sebagai penjahat perang. Saudara-saudara Muslim Bosnia bersama aktivis kemanusiaan internasional, juga menuntut kejahatan perang atas pemimpin Serbia. Rezim Polpot, Pinochet, Idi Amin, dan sebagainya, sebagai contoh kongkrit. Label-label negatif (atau stigmatisasi) selalu dipakai sebagai mekanisme pertahanan diri sebuah rezim ketika rezim itu dituntut secara hukum atas kejahatan kemanusiaan/ pelanggaran HAM berat. Tentu saja saya juga tidak mau bersikap naif, bahwa tidak ada usaha kebangkitan ideologis komunisme, sama seperti di tempat lainnya, seperti kebangkitan Neo-nazi, Zionisme, dan isme-isme ultra kanan lainnya. Ada usaha-usaha politis seperti itu. Namun, bagaimana kita sekarang dapat memahami fenomena-fenomena sosial dan HAM yang terjadi sekarang ini dalam sejarah Indonesia, akan jauh lebih penting untuk rekonstruksi sebuah negara yang kuat dan moderen serta demokratis. Oleh sebab itu, langkah pertama yang sangat penting bagi gereja adalah, bagaimana memahami HAM itu, yaitu: Nilai Dualitas Intrinsik HAM : Anugerah dan Perjuangan/ Proyek Historis 1. HAM adalah Anugerah Ketika kita berbicara tentang HAM, maka kita akan menemukan nilai/ dualitas intrinsik di dalamnya. Di satu sisi, kita percaya bahwa HAM adalah anugerah penciptaan (Kej 1:26,27). Yang dimaksud dengan anugerah (given) adalah nilai yang melekat dalam hidup manusia ketika ia diciptakan/ lahir. Sebagai anugerah/ kodrat (given) dalam penciptaan, maka presuposisi teologis ini mendorong kita untuk mengakui semua manusia, baik Kristen atau Islam, hitam atau putih, Yahudi atau Arab, cacad atau normal, laki-laki atau perempuan, orang tua atau bayi, dsb. adalah sama mulia, berharga, bermartabat, dst Dari sudut pandang ini maka tidak ada satu pihak/ otoritas baik dalam bentuk lembaga keluarga, gereja, masyarakat, adat atau bahkan negara yang dapat mengklaim sebagai sumber legitimasi HAM dan juga sebaliknya ada yang dapat mengambil/ merampasnya dari manusia. Nilai intrinsik dalam penciptaan adalah HAM melekat dalam penciptaan itu sendiri. Dari perspektif ini, HAM adalah sebuah konsep egalitarian yang radikal, bahwa semua umat manusia memilikinya dan ini melampaui batas-batas geografis, agama, ras, suku, jenis kelamin, usia, dsb. serta tidak dapat dihapus atau dicabut oleh siapapun dengan cara apapun. Dari konsep ini seharusnya tidak ada pelarangan jenis kelamin, agama, rasial, dan diskriminasi lainnya untuk menentukan siapa yang boleh atau tidak boleh menjadi presiden, imam, pendeta, ulama, dosen, dsb. Mengapa? Karena nilai HAM adalah intrinsik (nilai yang dibawa/ dimiliki secara natural) dalam diri manusia. Tidak ada satu pihak/ otoritas pun (termasuk agama) yang boleh mengklaim sebagai pemberi atau pelenyap HAM tersebut. Doktrin Kristen tentang Allah sebagai pribadi (Lat. Persona) dapat kita lihat sebagai dasar teologis pengakuan atas HAM. Artinya pengakuan Allah sebagai pribadi dan bukan melulu roh menyatakan nilai kemanusiaan yang begitu luhur. Allah bukan hanya sesuatu yang metafisik melainkan pribadi. Yaitu Allah yang hadir dalam sejarah dan menjumpai umat manusia dalam Yesus. Bandingkan lebih mendalam lagi gambar Yesus yang berbeda-beda, yaitu Yesus sebagai Yesus Indian, Yesus China, Yesus Latin, Yesus Jawa, Yesus Rakyat tertindas dsb, Dengan demikian kehadiran Allah bukanlah hanya suatu permainan intelektual, melainkan personal – realitas yang hidup-- yang dapat manusia rasakan kehadiran-Nya setiap hari. Pengalaman religius manusia membentuk kepercayaan kita kepada personalitas Allah. Dalam Alkitab, kita dapat menemukan perjumpaan manusia dengan Pribadi Allah sebagai pengalaman religius yang mentransformasi hidup manusia. Misalnya perjumpaan Musa dengan Allah; panggilan Abraham; nabi Elia; Yunus yang tidak mau ke Niniwe; Yeremia; Yesaya; Paulus yang tadinya bejad dan pembunuh dapat menjadi rasul, dsb. Ini mempunyai konsekuensi bahwa setiap manusia diberkati oleh Penciptanya dengan hak-hak yang tidak dapat dihilangkan/ diasingkan seperti kehidupan, kebebasan maupun kebahagiaan. Ini menjadi kesakralan personalitas manusia. Kesakralan ini akan hilang ketika seseorang diperlakukan hanya sebagai obyek atau alat untuk mencapai tujuan. Oleh sebab itu setiap orang berhak dan layak berkata, bahwa dirinya adalah manusia dengan harkat dan martabat. 2. HAM Adalah Perjuangan Dan Proyek Historis (Historical Project & Struggle) Ketika kita berbicara bahwa bukan orang lain, keluarga, gereja, lembaga agama, masyarakat atau negara sebagai sumber/ dasar legitimasi HAM, juga harus kita akui bawa mereka memiliki kekuasaan (power) untuk memperkuat atau melenyapkan HAM. Maka nilai dualitas intrinsik HAM yang lain, selain anugerah (given) adalah bahwa HAM merupakan perjuangan sejarah (historical struggle). Karena ia menjadi perjuangan sejarah, maka HAM juga merupakan sebuah proyek sejarah (historical project). Gereja, agama, LSM, Lembaga Adat, dan negara, PBB, dsb. memiliki kekuatan dan kuasa untuk memperjuangkan, menegakkan, meningkatkan, dan menjaga HAM supaya nilai intrinsik pertama HAM sebagai anugerah (given) dapat berlaku. Namun di sisi lainnya lembaga-lembaga tersebut juga dapat melenyapkan HAM, merampasnya serta menginjak-injaknya, yang menyebabkan nilai intrinsik HAM sebagai anugerah (given) tidak berjalan/ berlaku. Itulah sebabnya HAM harus terus-menerus diperjuangkan pada level yang berbeda-beda, yaitu dari wacana sampai pada legal-politis. Kita tidak bisa berhenti pada pengakuan bahwa HAM itu anugerah Tuhan dalam penciptaan, tetapi sekaligus juga harus memperjuangkannya supaya terwujud. Kita percaya bahwa perjuangan melawan penindasan, dominasi, kekerasan, dsb. adalah perlu dan bermakna serta dapat dibenarkan. Oleh sebab itu HAM bukan hanya sebagai sikap pasrah menerima kodrat/ anugerah tetapi juga menjadi perjuangan dan proyek sejarah (historical struggle and project). Oleh sebab itu harus jelas juga agenda-agenda politik gereja yang menegakkan HAM secara historis. 3. Prima Norma: Segambar Dengan Allah (Imago Dei/ Fitrah) Ketika kita berjuang, termasuk melawan tradisi dan doktrin gereja/ agama, adat, negara, dsb. yang melenyapkan HAM, norma manakah yang harus kita utamakan? Apakah kita berpihak pada perjuangan agama kita, karena sekedar pertimbangan itu agama dan kepercayaan kita? Jika tidak, mengapa kita tidak terlibat? Dalam memperjuangkan HAM sebagai nilai intrinsik perjuangan/ proyek sejarah, kita harus memiliki norma untuk kita tegakkan. Jawabnya adalah jelas, yaitu nilai intrinsik HAM itulah yang menjadi norma utama (Prima Norma), yaitu kemanusiaan yang segambar dengan Pencipta, yang melampaui batas-batas agama, ras, suku, bangsa dan jenis kelamin. Prima norma ini harus berjalan supaya perjuangan menegakkan HAM tidak berjalan sebaliknya tetapi menuju pada nilai intrinsic HAM sejati. Dari perspektif teologia Kristen, prima norma HAM ini harus menjadi dasar bagi gereja/ LPK untuk melawan dan berjuang atas segala bentuk penindasan, dominasi, kekerasan terhadap manusia yang dilegetimasi oleh agama, ras, suku, bangsa atau seksual. Perjuangan/ proyek historis HAM adalah sebuah proses untuk merevisi, mereinterpretasi serta merekontekstualisasi segala doktrin, kepercayaan maupun perilaku manusia yang hanya menghancurkan/ melenyapkan prima norma HAM. Inilah alasannya, dalam sejarah perjuangan HAM (Civil Rights Movement), Pdt. Martin Luther King, Jr. percaya pada personalitas Allah dalam kemanusiaan masyarakat Negro maupun Putih (bnd. Yesus menolak partikularisme Yahudi dan non-Yahudi; Mahatma Gandhi; dsb). King tidak hanya berjuang bagi masyarakat Negro dan menghancurkan martabat kulit Putih, melainkan mengembalikan personalitas Allah yang hilang dalam manusia yang ditindas (Negro) dan yang menindas (Putih). Ketika orang-orang Negro ditindas, dan diberlakukan hukum yang diskriminatif-rasialis, serta manusia dipisahkan relasi sosialnya atas dasar perbedaan warna kulit, sesungguhnya ia kehilangan personalitasnya. Namun perlu diingat, bersamaan dengan itu, orang yang menyebabkan Negro kehilangan personalitasnya, sesungguhnya dia sendiri juga kehilangan personalitasnya. Bukan hanya orang yang ditindas yang kehilangan kemanusiaannya, tetapi juga si penindas. Jadi pada praktek perampasan HAM, di sana tidak ada yang lebih manusiawi, dan tidak ada kemanusiaan, baik pada orang yang ditindas maupun penindasnya. Pergumulan di atas bukan saja menjadi pergumulan eksklusif Gereja di Indonesia, tetapi juga pada tingkat internasional. Dewan Gereja-gereja se-Dunia (WCC) pada Konsultasi Teologi dan Masyarakat Sipil (Consultation on Theology and Civil Society), Juni 1995 di Evangelische Academie Loccum, menyadari bahwa Gereja perlu dan harus mencari paradigma baru untuk memberi kontribusi yang signifikan bagi penegakan hukum dan HAM.. Konsultasi menyadari apakah pengalaman-pengalaman teologis gereja selama ini dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan dan proses terwujudnya masyarakat sipil. Proses globalisasi pasar dunia, runtuhnya Blok sosialis-komunis yang dibarengi juga dengan hilangnya model-model alternatif bagi masyarakat serta munculnya krisis paradigma-paradigma tradisional merupakan elemen-elemen yang memaksa Gereja untuk melihat dan memahami bahwa ide masyarakat sipil sebagai sumber-sumber inspirasi yang baru. Hal ini mendorong kita untuk memperbarui pengharapan dan mencari jalan-jalan yang dapat membawa kita menuju kepada rekonstruksi humanitas (baca penegakan hukum dan HAM). Gereja Dan Kritik Karl Marx Terhadap Gereja Ada beberapa catatan, yaitu: 1. Jauh sebelum Karl Marx muncul, Gereja awal, ketika masih disebut/ periode ”Sekte Yahudi”, selama 325 th, sebelum menjadi agama yang syah atau Gereja yang diakui, sudah hidup secara komunal untuk mempertahankan eksistensi mereka. Contoh:”Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa dan tidak seorangpun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama .... Ia menjual ladang miliknya, lalu membawa uangnya dan meletakkannya di depan kaki rasul-rasul.” (Kisah Rasul 4:32, 37 dst.). Mereka menjual tanah pribadi mereka untuk dipersembahkan kepada gereja supaya semua hidup. Gereja mengadakan komuni bersama, supaya yang kaya dan miskin dapat makan dengan hidangan yang sama. dan komuni ini dilanjutkan sampai sekarang dalam bentuk perjamuan kasih ataupun perjamuan kudus (simbolisasi kehidupan komunal). Sistem komunal ini mulai tergusur ketika gereja menjadi Agama resmi dan diakui oleh negara bahkan menjadi agama negara di bawah pemerinthan Konstantinus Agung. Ketika menjadi agama dan ideologi negara, gereja yang tadinya tidak memiliki apa-apa, sekarang justru menjadi kaya dan memiliki aset-aset yang dapat mengontrol kehidupan negara. Itulah sebabnya, dalam sejarah gereja, gereja begitu anti terhadap komunisme-atheisme, karena penolakan atas eksistensi transendental, serta kepemilikan alat-alat produksi serta aset-aset yang dapat mengontrol perilaku umat manusia. 2. Tesis Karl Marx, bahwa manusia itu pada hakekatnya adalah mahluk sosial. Ia menjadi serakah dan serigala, karena sistem yang menciptakan manusia sosial itu menjadi serakah. Oleh sebab itu sitem itu yang harus diperangi dan diganti, supaya manusia tidak menjadi serakah. Maka semua alat produksi yang dapat mengontrol perilaku manusia harus dikuasai oleh negara. Sedangkan kapitalis, justru sebaliknya. Tesis kapitalisme, manusia itu pada hakekatnya adalah mahluk serakah. Supaya keserakahannya tidak menghancurkan hidup manusia, maka negara harus menjaga dan mengawasinya. Hak kepemilikan individu sangat diagungkan, bahkan tanah dan segalah sumber daya alam yang terdapat di dalammnya adalah milik individu dan bukan negara. Lahirlah konflik kelas, antara kelas penindas dan kelas yang ditindas – subyek yang menindas, dan obyek yang ditindas. 3. Revolusi industri, menjadikan manusia teralienasi (terasing) karena dampak sistem kapitalisme dan industrialisasi. Gereja tidak memberi kesadaran kritis terhadap umatnya, melainkan menina-bobokan. Kemiskinan dan ketidakadilan sosial hanya dilihat sebagai takdir atau pemberian Tuhan, dan bukan karena sistem dan praktek ketidakadilan yang disebabkan oleh struktur ekonomi dan sosial yang menindas. Itulah sebabnya agama hanya berfungsi sebagai opium atau candu, yang membuat manusia mengalami halusinasi, dan tidak memberikan kesadaran kritis tentang realitasnya. Kemiskinan dan kesengsaraan umat manusia bukan semata-mata karena kodrat atau takdir dari Tuhan, tetapi karena struktur sosial dan sistem ekonomi yang tidak adil, yang menciptakan kesengsaraan manusia. 4. Ajaran Karl Marx ini diideologisasi oleh Lenin menjadi ideologi negara, dan secara sadar menolak otoritas Gereja dalam aspek kehidupan negara. Oleh sebab itu, Gereja tidak boleh ikut campur dalam urusan negara, dan secara sadar menolak keberadaan tuhan (atheistis). Paham komunisme-atheisme, adalah paham yang secara sadar menolak eksistensi ilahi dalam struktur kehidupan manusia. Maka kebahagiaan atau damai dan keadilan adalah menjadi materialisme historis, yang dapat diukur dan dirasakan oleh manusia, kini dan di sini, dan bukan di sana (baca: sorga, dunia transendensi). 5. Ideologi komunisme-atheisme ini selanjutnya diorganisir menjadi kekuatan ideologi internasional oleh J. Stalin. Bahkan ia pernah sesumbar, kalau Yesus mempunyai 12 murid untuk melanjutkan missinya, berilah aku 10 orang saja yang benar-benar komunis, maka akan ku komuniskan seluruh dunia. Ideologi ini menjadi ancaman bagi kemanusiaan manusia, karena dalam prakteknya menjadi totalitarianisme dan anti demokrasi serta tidak menghargai Hak-hak azasi manusia sebagai individu yang merdeka dan berdaulat. Termasuk juga hak-hak untuk beragama dan mengekspresikan imannya dalam aksi-aksi sosialnya. 6. Kemiskinan dan praktek penindasan menjadi tempat yang subur bagi komunisme-atheisme bertumbuh dan menciptakan utopia historisnya. Oleh sebab itu, komunisme-atheisme seringkali menjadi ”opium” baru bagi orang-orang yang ingin mewujudkan utopia dan materialisme historis ini. Partai menjadi agama baru, penguasa Oligarkhi menjadi ”tuhan” dan ideologi menjadi instrumen politik-ideologis, yang menghancurkan HAM juga, pada akhirnya. Gereja Dan Pelayanan Transformatif Sebagai Metode Anti Komunisme-Atheisme Ada beberapa catanan, yaitu: 1. Setelah kegagalan Developmentalisme, Gereja-gereja justru memakai pisau analisa Karl Marx dalam berteologi dan membangun praksis sosial-politiknya. Pisau analisa Marxis ini untuk membangun basis teologi gereja dalam memerangi ketidakadilan sosial dan struktur-struktur sosial dan politik yang menindas manusia. Pendekatan baru ini dipelopori oleh Gereja-gereja Amerika Latin yang kemudian menjadi contoh bagi gereja-gereja di Asia dan Afrika dalam mencari teologi kontekstual. Dipelopori oleh Gustavo Gutierrez, setelah diterbitkan karyanya, A Theology of Liberation (1973), yang menolak pendekatan orthodox atau gereja Barat dalam berteologi. Teologi bukan hanya milik teolog-teolog atau para pendeta (kelompok elite) tetapi milik semua orang. Yang harus berteologi bukan hanya elite religius/ profesional tetapi semua orang percaya. Apakah bisa? Dari pendekatan baru ini, umat/ awam dapat berteologi, karena teologi adalah langkah kedua. Teologi sebagai refleksi kritis atas hidup dan pengalaman nyata manusia. 2. Kesaksian dan Pelayanan Transformatif Gereja Kemiskinan sosial dan ketidakadilan sosial menjadi tempat yang subur tumbuhnya komunisme-atheisme, oleh sebab itu pelayanan gereja harus lebih transformatif. Analogi model pelayanan ini ialah, apabila ada orang lapar jangan hanya diberi roti, kail atau pacul tetapi juga hak. Pemberian roti dan pancing serta keterampilan maupun lembaga-lembaga dirasakan tidak berguna bila hutan, gunung, tanah, sungai dan laut sudah dikuasai oleh pemilik modal atau kelompok tertentu. Industri kayu, industri pariwisata, shopping center, super market/ mall, dsb. Pada kenyataannya telah mempersubur pemilik modal dan bukan rakyat yang memiliki sumber kehidupan tersebut. Dalam level internasional, kekayaan itu lari ke dunia maju, karena mereka memberi hutang dan teknologi kepada negara-negara miskin. Hasil pembangunan pertama-tama lari ke pemilik modal domestik maupun investor asing, dan menyisahkan kemiskinan yang parah. Hasilnya adalah kemiskinan tetap menjadi bagian rakyat, karena mereka tidak memiliki akses dan hak mereka dirampas untuk mengontrol kebijakan-kebijakan politik yang menentukan nasib mereka. Peranan gereja dalam transformasi masyarakat diarasakan belum optimal, bahkan cenderung mempertahankan status quo (keadaan seperti apa adanya). Berdasarkan kesadaran baru inilah maka teolog-teolog pembebasan merumuskan ekklesiologi (ilmu tentang gereja) yang baru, yang lebih kontekstual. Koinonia tidak lagi dimengerti sebagai persekutuan orang-orang Kristen/ gereja saja. Ini terlalu sempit sebagai persekutuan umat Allah. Koinonia adalah persekutuan umat manusia yang baru, yang hidup dalam kasih Allah, terlepas dari apa yang menjadi agama mereka bnd. Luk. 10:25-37 tentang Orang Samaria Yang Murah Hati). Koinonia (Yunani: Persekutuan) adalah cita-cita suatu tatanan hidup manusia yang baru, yang berbeda secara kualitatif dengan masyarakat sekarang. Koinonia bukanlah usaha kembali kepada Firdaus yang hilang, melainkan menciptakan suatu tatanan persekutuan hidup manusia yang berbeda secara kualitatif. Kita tidak perlu menangisi kejatuhan manusia dalam dosa (paradigma Adam dan Hawa) ke dalam dosa, tetapi berusaha menciptakan kehidupan manusia yang berbeda secara kualitatif. Inilah panggilan keselamatan yang Yesus ajarkan kepada pengikut-Nya, supaya mewujudkan kedatangan Kerajaan Allah. Diakonia (pelayanan) bukan hanya berarti memberi makan, minum, pakaian, pembangunan, dst., tetapi bagaimana bersama masyarakat memperjuangkan hak-hak hidup, seperti hak makan, minum, pakaian, nafas, kerja, lingkungan yang sehat, yang telah hilang karena dirampas oleh pihak lain atau yang menindas (oppressor). Intinya memiliki akses untuk mengontrol kebijakan-kebijakan publik, yang menyangkut nasib hidup mereka. Kita butuh nasi, tetapi kita ingin memperolehnya dengan keadilan (justice). Kita butuh nasi, tetapi kita ingin memperolehnya dengan kebebasan (freedom). Kita butuh nasi, tetapi kita ingin memperolehnya dengan martabat dan pengharapan (dignity and hope). Hak hidup yang lebih manusiawi dan beradab inilah yang menjadi orientasi diakonia transformatif. Dalam kenyataannya, diakonia transformatif mengambil bentuk pelayanan-pelayanan pembelaan (advocacy). 3. Pelayanan Pembelaan (Advocacy) Komunisme-atheisme dilihat sebagai pembela kaum miskin dan tertindas, oleh sebab itu gereja harus hadir juga dalam keberpihakan dan pembelaan bagi kaum tertindas (the oppressed). Dari perspektif di atas maka pelayanan gereja tidak lagi dilakukan dalam bentuk pelayanan karitatif/ amal dan rohani saja, tetapi juga pelayanan pembelaan. Pelayanan ini dibutuhkan oleh masyarakat pada saat ini, karena kita menghadapi kompleksitas masalah dan sistem serta struktur masyarakat yang semakin tinggi. Pelayanan pembelaan jauh lebih dasariah atau radikal (Latin: akar), karena membantu masyarakat mempertahankan prasyarat hidupnya, seperti tanah, hak asasi, hak pendidikan, kesehatan, sosial, lingkungan hidup yang damai, sehat dan bersih. Gereja seringkali hanya membatasi pelayanan Yesus hanya dalam batas-batas kerohanian dan karitatif saja. Pemahaman ini tidak salah, namun kurang utuh. Pertanyaan seperti bagaimana hubungan Yesus dengan masalah-masalah sosial-politik (seperti imperialisme Romawi, penindasan, ketidakadilan, militerisme, dsb)?; kritik yesus terhadap pemerintah di muka bumi ini yang memerintah rakyatnya dengan tangan besi, adalah pertanyaan-pertanyaan yang membawa kita mengenal pelayanan Yesus yang utuh. Pertanyaan ini penting karena banyak orang merasa bahwa missi Yesus semata-mata rohani sama sekali tanpa hubungan dengan masalah-masalah material (sosial-ekonomi, hukum dan politik). Kenyataannya, dalam hidup-Nya Yesus banyak bergaul dengan orang-orang miskin dan lemah serta Ia memberi pengharapan bahwa Ia datang untuk membebaskan mereka dari penindasan: Roh Tuhan ada padaKu oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan dan penglihatan bagi orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang (Luk. 4: 18,19). Yesus mengkritik orang-orang kaya yang hidup mewah sementara orang-orang miskin menderita karena perbuatan mereka. Ia mengutuk orang-orang Farisi yang “mengikat beban berat lalu meletakkannya di atas bahu orang tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya” (Mat. 23:4). Pertentangan-pertentangan ini memperlihatkan kepada kita, bahwa Yesus tidak menyerah secara pasif kepada ketidakadilan dan kejahatan dalam masyarakat-Nya. Ia menentang penyalahgunaan kekuasaan. Ia disalibkan karena pertentangan itu. Seandainya Yesus hanya membicarakan hal-hal rohani yang tidak berhubungan dengan pelayanan pembelaan (baca: masalah sosial, ekonomi, hukum dan politik), maka pemimpin-pemimpin masyarakat (baik agama, sosial maupun politik) tidak takut kepada Yesus. Karena kritik Yesus mengancam kedudukan mereka, maka mereka membunuh-Nya. Yesus menentang praktek-praktek kekerasan struktural, ketidakadilan, kejahatan, keserakahan dengan jalan menderita (via dolorosa). Pertentangan Yesus bukan hanya kepada pemimpin Roma dan Yahudi saja, tetapi juga cara pemerintahan yang lazim di dunia ini. Yaitu bahwa pemerintahan bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi (Mark. 10: 42-44). Oleh sebab itulah pelayanan yang Yesus berikan adalah pelayanan pembelaan kepada mereka yang tidak mempunyai kekuatan sosial, ekonomi, politik maupun agama. Yesus mengabdikan diri untuk mendatangkan kedamaian dan keadilan. Ia tidak mau berkompromi dengan kejahatan. Ia menentang orang-orang yang menyalahgunakan kekuasan dan kedudukan serta tidak peduli terhadap nasib orang sengsara. Pelayanan pembaruan yang Yesus kerjakan adalah lengkap dan utuh. Pelayanan pembaruan yang Yesus kerjakan adalah lengkap dan utuh. Pembaruan itu berarti struktur budaya dan hati manusia diperbarui. Kedua unsur itu penting dalam keselamatan yang utuh. Yesus tidak hanya memperhatikan kehidupan individu saja, tetapi juga masyarakat, dan sebaliknya. Yesus memanggil murid-murid-Nya untuk hidup kudus (bnd. Mar. 1:19; Luk. 9:58, 62) –“… serigala mempunyai liang, … tetapi .. setiap orang yang siap membajak, tetapi menoleh ke belakang, tidak layak mengikut Aku ….” Contoh-contoh Tindakan Gereja: Superversion vs Subversion Kekuatan dan kapasitas membangun ekonomi negara tidak hanya terletak pada Pemerintahan yang bersih atau kelompok elite politik dan ekonomi saja, tetapi juga kekuatan subversif dari para buruh dan petaninya (baca: rakyat). Yang saya maksud kekuatan subversif adalah bahwa transformasi ekonomi dilakukan dari arus bawah, dimana rakyat menjadi subyek historis (penentu arah dan sistem ekonomi) dalam menentukan sejarah bangsa. Transformasi ekonomi dapat kita lakukan dari dua aras, yaitu aras atas yang biasa disebut superversion, yaitu pelaku-pelaku dan penentu sejarah hanya kelompok elite. Superversion hanya menjadikan rakyat sebagai obyek historis – korban keputusan kelompok elite, dan bukan penentu sejarah hidupnya sendiri. Seringkali transformasi superversion berlangsung hanya sebatas lip-service, karena para elite politik-ekonomi mempunyai kepentingan untuk mempertahan-kan status quo. Aras lainnya yaitu subversion, yaitu dari bawah dimana bukan hanya para elite politik-ekonomi yang menentukan mati-hidupnya suatu bangsa, tetapi rakyat juga. Pendekatan subversion menjadikan rakyat sebagai subyek historis yang sejati. Sebagai contoh buruh-buruh yang tergabung dalam MICRO Trade Union (sebuah perusahaan pulpen dan pensil) di Korea. Ketika pemilik perusahaan tersebut ditahan polisi karena kasus KKN yang merugikan negara, para buruh menolak perusahaan tersebut dijual kepada investor asing dengan harga murah, sekedar hanya untuk mendatangkan investasi, dan juga menolak adanya PHK. Mereka meminta dukungan dari pemerintah untuk mengambil alih dan memberi kesempatan kepada kaum buruh untuk meneruskan roda produksi. Para buruh bersedia bekerja dan tidak dibayar sampai lebih dari 1 ½ tahun sebagai penyertaan modal. Syntesa Kapitalisme dan Kolektivisme : Sistem Ekonomi Rakyat Subversif Gereja bisa mengembangkan solusi alternatif. Dari kasus yang dilakukan oleh CEDEPCA (sebuah Lembaga Pelayanan Gereja) di Guatemala dan El Salvador. Sistem ekonomi yang mereka bangun adalah syntesa dari kapitalisme (liberalisme) dan kolektivisme (sosialisme). Mereka membangun komunitas-komunitas basis, dan dalam komunitas basis tersebut mereka tetap memiliki hak pribadi aas alat produksi untuk melakukan kompetisi dengan orang lain. Di sisi lain mereka juga mengatur supaya ada alat produksi yang dimiliki oleh komunitas, sehingga mereka akan mempunyai lumbung gandum/ padi atau kekayaanm ekonomi yang dimiliki secara kolektif. Dari kekayaan dan alat produksi yang dimiliki secara kolektif tersebut, komunitas membangun infra struktur yang mereka butuhkan seperti sarana irigasi, pendidikan, perumahan dan lingkungan, tanaman-tanaman produktif, dsb. Akses Mengontrol Produksi: Substansi keadilan Ekonomi Rakyat Gereja harus memperjuangkan hak-hak kesejahteraan kaum buruh. Gereja-gereja di Korea membantu kaum buruh menuntut hak-hak hidupnya, tanpa harus menjadi Komunisme-atheisme. Tuntutan keadilan dan kemanusiaan yang diperjuangkan rakyat tidak berhenti pada retorika dan jargon-jargon perjuangan keadilan ekonomi rakyat, tetapi juga secara substansial dapat kita lihat. Misalnya melalui perjuangan yang begitu panjang buruh-buruh di PT KIA menuntut keadilan dan perlakuan manusiawi atas dirinya. Buruh-buruh akhirnya diperkenankan berserikat, diberikan sebuah gedung berlantai dua sebagai pusat organisasi mereka (KIA Automobile Trade Union). Buruh turut mengawasi roda produksi bukan hanya manajer perusahaan untuk mencapai target perusahaan yang berkeadilan dan berprikemanusiaan. Mereka ikut mengontrol kecepatan berputar roda produksi dari pemasangan mesin, body asesoris mobil sampai uji coba kendaraan sesuai kesepakatan. Inilah keadilan ekonomi, misalnya dicapai kesepakatan antara pengusaha dan buruh, jika roda produksi perjam menghasilkan 1 buah mobil, sehingga buruh dihormati sebagai manusia bukan mesin/ robot produksi tetapi perusahaanpun tetap untung. Tuntutan kebebasan berserikat harus juga disertai dengan kepemilikan hak menentukan nasib melalui organisasi buruh dan sistem pengorganisasiannya, memiliki gedung sendiri, mengontrol sistem produksi seperti dapat meninjau setiap bagian kapan dan jam berapa mereka kehendaki, dsb. Semua dipahami sebagai simbol keadilan dan kemanusiaan, yang berarti juga memperkuat basis dan sistem ekonomi rakyat. Penutup Komunisme-atheisme adalah ideologi yang menawarkan sebuah utopia-historis untuk menjawab kebutuhan dasar manusia. Jika gereja tidak menginginkan Komunisme-atheisme subur, maka gereja harus memberikan solusi yang tepat dan benar untuk memenuhi kebutuhan dasar kehidupan manusia. Semoga saja! *****

APA DAN MENGAPA KOMUNISME

Oleh: Prof. Drs. Totok Sarsito, SU, MA, Ph.D FISIP -Universitas Sebelas Maret Economic Interpretation of History Marx telah mendasarkan analisisnya pada faktor ekonomi dengan mengatakan bahwa: “Produksi barang dan jasa yang mendukung kehidupan manusia serta pertukaran barang dan jasa yang telah diproduksikan tersebut merupakan dasar dari seluruh proses dan lembaga sosial.” Marx mengatakan : “Bukan kesadaran manusia yang menentukan eksistensi mereka akan tetapi, sebaliknya, eksistensi sosial manusialah yang menentukan kesadaran mereka.” Teori Dialektika Hegel Hegel: “Kebenaran yang ditangkap manusia itu sebenarnya merupakan sebagian saja dari kebenaran itu. Kebenaran dalam keseluruhan hanya dapat ditangkap oleh pikiran manusia melalui suatu proses dialektika, yaitu suatu proses yang bermula dari tesis, anti tesis, dan sintesis, dan kemudian kembali pada tesis lagi. Begitu seterusnya sampai kebenaran yang sempurna (absolute idea) dapat ditangkap.” Proses Dialektika Hegel Dasar : (1) Semua itu berkembang, dan (2) Semua itu mempunyai hubugan satu dengan yang lain. Dialektika : “Suatu konsep yang telah dianggap sebagai kebenaran atau konsep A (tesis) pada hakekatnya mengandung unsur ketidakbenaran. Agar supaya pikiran manusia dapat menangkap konsep yang lebih mendekati kebenaran yang sempurna maka konsep tadi harus dihadapkan dengan konsep yang lain, yaitu konsep B (anti tesis). Dari hasil konfrontasi inilah lahir konsep C (sintesis), dan ia merupakan hasil pergumulan antara konsep A (tesis) melawan konsep B (anti tesis). Proses tesis, anti tesis, dan sintesis dinamakan gerak berdasarkan hukum dialektika. Proses ini berlangsung terus sampai suatu saat tercapai sintesis yang paling tinggi dan paling sempurna unsur kebenarannya (absolute idea).” Dialektika Dialektika merupakan gerak maju dari taraf yang lebih rendah ke taraf yang lebih tinggi, dengan suatu irama pertentangan dan persatuan. Dialektika mencakup pola ulangan dari antagonisme yang disusul oleh penyesuaian. Marx tertarik dengan dengan teori dialektikanya Hegel karena didalamnya mengandung unsur kemajuan melalui konflik atau pertentangan. Pandangan Marx Tentang Dialektika Hukum dialektika tidak hanya terjadi di alam pikir, tetapi juga didalam dunia kebendaan. Marx menolak pandangan Hegel bahwa sebab utama terjadinya proses sejarah dan kondisi material masyarakat (sosial, ekonomi, teknologi, dan militer) sesungguhnya berasal dari dan disebabkan oleh ide-ide besar dari para ahli pikir. Setiap fenomena bergerak dari taraf yang rendah ke taraf yang lebih tinggi, atau dari keadaan yang sederhana ke keadaan yang lebih kompleks. Gerak ini terjadi dengan melompat-lompat melalui gerak spiral ke atas dan tidak melalui gerak lurus keatas. Dengan tercapainya negasi tertinggi maka proses dialektika akan berhenti. Dialectical Materialism “Dialectical materialism” digunakan Marx sebagai pisau untuk menganalisis sejarah perkembangan masyarakat yang lebih dikenal dengan “historical materialism.” Marx mengatakan bahwa setiap benda atau keadaan (phenomenon) didalam tubuhnya sendiri akan selalu menumbuhkan segi-segi yang berlawanan. Segi-segi yang berlawanan itu akan saling berbenturan satu sama yang lain dan peristiwa itu disebut sebagai kontradiksi. Dari pergumulan ini akhirnya akan timbul keseimbangan, dan dengan demikian benda atau keadaan itu telah dinegasikan. Negasi Negasi merupakan kemenangan dari yang baru atas yang lama, suatu kemenangan yang dihasilkan oleh kontradiksi yang terjadi didalam tubuhnya sendiri. Negasi merupakan penghancuran atas yang lama oleh yang baru, sebagai hasil perkembangan dalam dirinya sendiri yang diakibatkan oleh kontradiksi internal (benih-benih penghancuran dari dirinya sendiri yang dimiliki oleh setiap benda atau fenomena). Dua Konsep Utama Marx Untuk mendekati persoalan dasar di bidang sosial, Marx menggunakan dua konsep utama, yaitu: “Forces of Production” : Hubungan manusia dengan alam atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah “technological know-how” “Relations of Production” : Hubungan manusia dengan manusia atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah lembaga-lembaga sosial. Hubungan Antara “Forces of Production” dan “Relations of Production” Mula-mula terdapat keseimbangan antara ilmu pengetahuan dengan organisasi sosial. Akan tetapi lambat laun timbul semacam ketidak-seimbangan atau ketertinggalan antara ilmu pengetahuan dengan lembaga-lembaga sosial. Ini disebabkan karena ilmu pengetahuan (“forces of production”) berkembang jauh lebih cepat dari pada lembaga-lembaga sosial (“relations of production”). Dinamika Perubahan Sosial Bila kekuatan produksi yang baru (new forces of production) mengalami perkembangan, hubungan produksi yang ada (existing relations of production) akan menjadi penghalang bagi penggunaannya secara memadai. Setiap sistem dengan demikian akan menjadi pemborosan bagi potensi kreatif yang telah berkembang di dalam rahimnya sendiri akan tetapi tidak diijinkan untuk lahir dan berkembang. Hanya pemilikan alat-alat produksi oleh masyarakat (negara) maka akan dapat diciptakan suatu sistem baru dalam hubungan produksi, yang didasarkan atas produksi untuk penggunaan bersama dan bukan untuk keuntungan individu, guna menandingi kekuatan produksi yang maha besar, yang potensial dan nyata dikenal oleh manusia. Alasan Revolusi Apabila “technological know-how” mulai mengatasi “lembaga-lembaga sosial” yang ada (sosial, hukum, politik), maka pemilik alat-alat produksi tidak akan melapangkan jalan secara terhormat guna membiarkan sejarah mengikuti arah yang tidak mereka inginkan. Karena ideologi kelas penguasa selalu mencerminkan sistem ekonomi yang berlaku, para pemilik alat-alat produksi percaya betul bahwa sistem yang berlaku itu secara ekonomis adalah yang paling efisien, secara sosial adalah yang paling adil, dan secara filosofis adalah yang paling selaras dengan hukum alam dan hukum kemauan Tuhan yang manapun yang mereka sembah. Oleh karena itu, mereka (para pemilik alat-alat produksi) akan memobilisir semua alat-alat superstruktur (hukum, politik, dan ideologi) yang ada untuk memblokir bertumbuhnya kekuatan yang mewakili sistem ekonomi yang lain yang secara potensial lebih progresif, sehingga akhirnya membuat “revolusi” menjadi tak terelakkan lagi Pendapat Marx tentang Kapitalisme Kapitalisme akan menemui ajalnya bukan karena disebabkan oleh komplotan subversi dari kaum revolusioner profesional, akan tetapi oleh undang-undang perkembangan dan perubahan sosial yang tidak kenal ampun, yang juga telah menghancurkan sistem-sistem sebelumnya. Semakin banyak perusahaan kapitalis mengalami keberhasilan dan semakin banyak perusahaan kapitalis diorganisir ke dalam unit-unit yang berskala luas, akan semakin tidak dapat dielakkan terciptanya penggali liang kuburnya sendiri, yaitu kaum proletar yang sadar akan kelasnya. Proses Kehancuran Kapitalisme (1) Mengadakan rasionalisasi industri atau membuat industri secara teknologis lebih efisien ; (2) Melakukan investasi modal di negara-negara yang belum berkembang yang tingkat keuntungannya masih tetap tinggi. Usaha Kaum Kapitalis Hindari Menurunnya Tingkat Keuntungan Marx beranggapan bahwa kaum kelas pekerja akan mengembangkan kesadaran kelasnya dengan secara spontan dalam perjuangannya sehari-hari untuk kehidupan mereka dan bahwa pimpinan mereka sebagian besar akan muncul dari lingkungan mereka sendiri. Lenin kurang mempercayai kemampuan kelas pekerja dalam memikirkan diri mereka sendiri. Tanpa adanya organisasi yang baik dan pelopor yang militan, kaum kelas pekerja tidak akan berhasil memenangkan perjuangannya. Pandangan Marx dan Lenin Tentang Kelas Pekerja Sumbangan Lenin Terhadap Teori Marxisme Lenin menyumbangkan konsepnya tentang “kaum revolusioner profesional.” Bahwa agar perebutan kekuasaan bisa dilakukan dengan berhasil, maka kegiatan mereka harus dilakukan dengan melalui dua cara, yaitu : Kaum kelas pekerja harus membentuk organisasi-organisasi buruh dengan tujuan ekonomi sebagai tujuan pokoknya yang bergerak secara terbuka, syah dan sejauh mungkin bersifat umum; Kegiatan Kaum Revolusioner Profesional Mereka harus merembes dan membentuk sel-sel ke dalam semua lembaga-lembaga sosial, ekonomi, politik, pendidikan yang ada dalam masyarakat, apakah lembaga-lembaga itu berupa sekolah, gereja, serikat buruh, ataupun partai politik. Terutama sekali mereka dianjurkan untuk merembes ke dalam tubuh angkatan bersenjata, polisi dan pemerintahan. Keanggotaan Kaum Revolusioner Profesional Keanggotaan kaum revolusioner profesional tidak mesti harus berasal dari golongan klas proletar. Yang paling penting mereka ini bisa melakukan tugasnya dengan baik. Organisasi kaum profesional revolusioner harus disentralisir betul dan harus senantiasa membimbing dan mengawasi organisasi-organisasi ekonomi yang dipimpin oleh kaum komunis, seperti serikat buruh, koperasi, dan lain sebagainya. Nasehat Lenin Kaum komunis hendaknya melakukan kegiatan dibawah tanah, sekalipun di tempat dimana mereka tinggal, Partai Komunis diperbolehkan hidup dengan syah. Kesempatan syah harus dipergunakan sebaik-baiknya dan sepenuhnya. Selain itu kaum komunis harus bekerja melalui organisasi front, senantiasa mengubah nama-nama petugas organisasi mereka, tetapi mereka harus selalu mengingat tujuan akhir mereka, yaitu perebutan kekuasaan secara revolusioner. Perlu Ada Perubahan Dalam Menerapkan Ajaran Marx Menurut Lenin, adanya perbedaan kondisi maka penerapan ajaran Marx perlu perubahan: (1) Industrialisasi Rusia di jaman Lenin baru sampai pada taraf separuh berkembang. Sedangkan di Eropa Barat pada jaman Marx telah sampai pada tahapan yang maju pesat dan modern (2) Kaum proletar yang merupakan golongan tertindas di Rusia kebanyakan terdiri dari kaum tani penggarap sawah. Sedangkan kaum proletar di Eropa Barat pada jaman Marx berasal dari kaum buruh. Teori dan Strategi Lenin Untuk Negara Berkembang Marx berpendapat bahwa revolusi kaum komunis akan terjadi di negara-negara yang secara ekonomis sudah maju, seperti Jerman dan Inggris, yang kapitalismenya sudah dewasa dengan sebelah kaki sudah berada di dalam liang kuburnya sendiri. Lenin setuju dengan Marx bahwa revolusi tidak akan bisa dielaki. Tetapi ia bertanya mengapa ia harus menunggu sampai kapitalisme menjadi dewasa dan kuat, mengapa tidak dipukul saja ketika ia masih dalam keadaan lemah, yaitu ketika Rusia, Asia dan Afrika masih berada dalam keadaan ekonomi yang terbelakang. Strategi Jangka Panjang Stalin Stalin mengajukan konsep empat ketegangan : 1) Ketegangan antara kaum kapitalis dan kaum proletar, 2) Ketegangan antara negara-negara imperialis dengan daerah jajahannya, 3) Ketegangan diantara negara-negara imperialis yang saling bersaing, dan 4) Ketegangan antara negara-negara komunis dengan negara-negara kapitalis. Cara Kaum Komunis Mengubah Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat 1) Mereka memperkenalkan diri mereka melalui propaganda sebagai partai rakyat yang akan mengabdi pada demokrasi dan keadilan sosial serta akan menentang segala bentuk reaksi dan ketidakadilan sosial. Mereka mengemukakan tentang perlunya diadakan perubahan di bidang pertanian dan menganjurkan perampasan tanah oleh petani, sungguhpun mereka berada didalam pemerintahan; 2) Mereka mengadakan perembesan ke dalam partai-partai politik lawan dan juga serikat-serikat buruh dan dewan-dewan prajurit dan badan-badan pemerintahan setempat. Mereka berhasil melakukan infiltrasi dan juga mengacaubalaukan kaum revolusioner sosial yang mempunyai partai besar di Rusia; 3) Mereka mempergunakan cara kekerasan dalam merebut posisi-posisi kunci di puncak kekuasaan Moskow. Tiga Sumber Kekuatan Komunis 1) Perluasan yang luar biasa dari dasar dimana kaum terpilih direkrut : Revolusi kaum komunis telah membuka dunia baru yang penuh kesempatan bagi orang-orang yang sebelumnya dikecualikan dari setiap kesempatan; 2) Industrialisasi yang sangat cepat 3) Kekuatan militer Dua Sumber Kelemahan Komunis (1) Penekanan pada konformitas (keseragaman) (2) Perbedaan antara cita-cita dan kenyataan. Pendapat Marx Tentang Negara Negara hanyalah alat pemaksa (instrument of coercion) yang pada akhirnya akan dihapuskan dan bahkan melenyap dengan sendirinya manakala masyarakat komunis sudah terbentuk. Pendapat Lenin Tentang Teori Melenyapnya Negara Diktatur proletariat (negara) merupakan organisasi pelopor dari golongan tertindas sebagai kelas penguasa untuk menghancurkan kaum penindas. Negara hanya dibutuhkan untuk sementara saja, yaitu selama musuh-musuh komunis yang harus ditindas masih ada. Stalin Tentang Syarat Bagi Melenyapnya Negara (1) Syarat intern: sama dengan Marx dan Lenin yaitu apabila sistem ekonomi telah didasarkan pada prinsip ekonomi distribusi menurut kebutuhan; (2) Syarat ekstern: apabila pengepungan oleh negara-negara kapitalis telah berakhir dan sosialisme telah mencapai kemenangannya di seluruh dunia. Sumber Utama Pustaka Ebenstein, William. (1965). Today’s ISMS: Communism, Fascism, Capitalism, Socialism. Englewood Cliffs, N.J.: 1965

PERAN TOKOH AGAMA DALAM MENGHADAPI KEMBALINYA KOMUNISME DI INDONESIA


Berbicara tentang komunis, kita sepakat bahwa ideologi komunis merupakan bahaya laten yang harus terus diwaspadai, yang dalam sejarahnya telah menorehkan tinta hitam dan sangat membahayakan bagi kelangsungan hidup bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia "Sebagai sebuah paham, komunis tidak akan berhenti dan terus akan hidup kembali melalui beragam bentuk,". Seorang pemerhati komunisme itu menambahkan, bekas anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) meski menyatakan "insyaf" masih kerap berupaya untuk kembali eksis melalui beragam bentuk semisal adanya Paguyuban Korban Rezim Baru atau Lembaga Pusat Rehabilitasi Korban Rezim Baru. "Mereka (bekas penganut komunis) memposisikan diri sebagai korban, sebagai warga negara Indonesia yang dikorbankan oleh pemerintahan rezim orde baru. Sehingga mereka menuntut untuk kembali hidup dan diakui seperti dulu. Para penganut komunis tersebut selalu memiliki skenario besar dengan melakukan apa saja guna mempengaruhi masyarakat baik melalui opini, buku, tulisan, internet dan sebagainya atau bermetamorfosis menjadi neo-komunis. Berkembangnya paham komunis di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh paham dan gerakan serupa di mancanegara. "Meski Uni Sovyet dan sejumlah negara Eropa Timur sudah tidak ada lagi hingga paham komunis pun dianggap mati, namun bukan berarti komunisme benar-benar mati, masih banyak yang menganut paham itu dalam bentuk yang beragam,". Karena itu, Indonesia sebagai negara demokratis dan berdaulat harus dapat memantapkan kembali jatidirinya dengan kembali kepada Pancasila. "Sekarang kita malu untuk bicara Pancasila, meski Pancasila merupakan ideologi atau dasar negara". Pancasila, harus kembali menjadi pegangan untuk menata bangsa ini menjadi lebih baik Dalam konteks itu, perlu memahami mengapa akhir-akhir ini dimunculkan isu Organisasi Tanpa Bentuk (OTB). Selain mengingatkan kita tentang “noktah-noktah hitam” di masa lalu, kita disadarkan tentang kegunaan sejarah. Sejarah mendidik kita untuk bertindak bijaksana. Peristiwa sejarah memang bisa menimbulkan kontroversi dan penafsiran yang subyektif dari berbagai kalangan, khususnya bagi para penulisnya. Perdebatan mengenai sejarah adalah hal yang lumrah. Apalagi terhadap peristiwa penting seperti pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 dan G 30 S/PKI di Jakarta tahun 1965. Kebengisan dan kekejaman kedua peristiwa besar itu sudah menjadi trauma bagi bangsa Indonesia. Sangatlah wajar, jika peristiwa kekejaman tersebut harus selalu diingatkan. Sudah seharusnya kalau kita kemudian tersentak ketika ada isu-isu upaya memutarbalikkan sejarah. Peristiwa Madiun, bukan hanya pemberontakan tetapi pengkhianatan PKI, bukan hanya memberontak tetapi mengkhianati perjuangan bangsa, karena waktu itu bangsa Indonesia sedang menghadapi penjajah yang ingin kembali ke Indonesia. Peristiwa itu berulang kembali pada tahun 1965, dengan korban ribuan manusia, di antaranya tujuh Pahlawan Revolusi sebagai bukti kekejaman dan kebengisan PKI. Kedua pengkhianatan PKI itulah yang paling traumatis, yang menorehkan noktah paling hitam, paling dalam, dan paling berdampak besar dan lama hingga sekarang. Dikatakan, Upaya pembelokan sejarah Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia semakin gencar dengan munculnya beragam versi dan peristiwa yang berpotensi membingungkan masyarakat. Upaya mengubah sejarah G 30 S/PKI dengan memposisikan PKI sebagai korban dan bukannya pelaku atau dalang kini terus berlanjut dan semakin intensif, seperti munculnya buku pelajaran sejarah yang tidak mencantumkan PKI sebagai pelaku dari gerakan pemberontakan pada tanggal 30 September 1965 itu.Modus dari upaya pihak-pihak yang ingin menghapus jejak sejarah itu, dilakukan dengan menimbulkan keraguan di tengah masyarakat, terhadap siapa sebenarnya yang melakukan gerakan pemberontakan pada tahun 1965 itu. Oleh karena itu, apabila ada kelompok atau golongan tertentu yang secara sistematis ingin mengkaburkan peristiwa tersebut, sudah barang tentu menjadi kewajiban kita bersama untuk mengembalikan kepada peristiwa yang sebenarnya terjadi secara faktual. Memang sangat sulit untuk mendeteksi gerakan mereka secara kasat mata, karena mereka berada disekeliling kita, bahkan mereka telah membaur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun apabila kita cermati dari cara-cara yang mereka lakukan, baik berbentuk penyampaian gagasan, ide, cara bertindak dan lain sebagainya bahkan secara terbuka membuat pengakuan kebanggaannya melalui tulisan, maka semakin meyakinkan kita bahwa mereka telah membentuk diri menjadi Komunis Gaya Baru. Untuk mengetahui indikator-indikator gerakan Komunis Gaya Baru dan langkah-langkah apa yang mesti kita tempuh, maka melalui seminar sejarah ini diharapkan dapat membedah persoalan tersebut dan dapat dirumuskan solusi yang tepat, untuk dijadikan sebagai senjata dalam rangka melawan gerakan mereka, sehingga sejarah kelam di masa lampau yang sempat menghiasi negeri ini tidak perlu terulang dan terjadi lagi. Tak lepas dari semua itu adalah hal yang sangat membahayakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara komunisme yang menganut faham atheis sangat tidak sesuai dan bertentangan dengan Pancasila terutama sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam sila ini jelas Negara menjamin kehidupan berbangsa dan bernegara dengan mengakui Tuhan (beragama) dan menolak atheisme yang diajarkan berjalan lurus dengan faham komunis. Oleh karena ini dalam kesempatan ini kami berencana mengadakan Dialog Publik dengan mengajak tokoh agama dan masyarakat guna membendung ajaran komunis agar tidak berkembang di Negara kita. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka dengan ini Lembaga Kajian Lintas Kultural telah menyelenggarakan sebuah Dialog Publik yang mengangkat tema : “Peran Tokoh Agama Dan Masyarakat Dalam Menghadapi Kembalinya Komunisme Di Indonesia”