FOTO MASTER

FOTO MASTER

Kamis, 25 November 2010

Senin, 22 November 2010

NATAL YANG MEMBUMI
Wajah kekristenan di Indonesia sebagian besar adalah wajah ‘zending’. Pemikiran dan perilaku masyarakat Kristen di Indonesia merupakan terjemahan praktis perilaku “western”(EROPA-AMERIKA). Kesimpulan subyektif ini muncul dari pengamatan terhadap beragam pemikiran dan perilaku kekristenan yang beredar di Indonesia. Dalam ranah pemikiran Kristen, beredar beragam aliran teologi yang ditengarai adalah terjemahan terhadap pemikiran-pemikiran impor.
Sebagai contoh, tentang teologi yang mengedepankan kebebasan berteologi yang akhirnya masuk kepada ranah ketuhanan dan keabsahan buku suci. Teologi ini juga sering mendengung-dengungkan kontekstualisasi teologi dan Kekristenan yang membumi. Di permukaan, kelihatannya pemikiran ini sangat membantu dan pro terhadap kebebasan berteologi. Tetapi jika dicermati, pemikiran ini sangat western filosofi, dan tidak relevan dengan konteks alam pikir ketimuran. Konteks berpikir filsafat barat sedemikian rupa mendorong kebebasan berpikir tanpa batasan “otoritas suci/TUHAN – BUKU SUCI. Hal ini tidak relevan dengan penghargaan pola pikir timur terhadap “YANG DIANGGAP SUCI”. Pemikiran Teologi Kristen yang mempermasalahkan hal Ketuhanan Yesus dan Otoritas Alkitab, tidak sesuai dengan konteks Indonesia yang “menaruh buku suci di lemari rak paling atas”. Juga tidak sesuai dengan budaya pikir yang mengagungkan para leluhur sedemikian rupa apalagi “TUHAN”.
Pemikiran lain adalah pemikiran Kristen yang sedemikian rupa mendisiplin diri pada “teks”. Pemikiran ini mengafirmasi dan jumawa tentang kajian-kajian tekstual dengan beragam prosedur di dalamnya, yang dianggap sebagai sebuah interpretasi yang sahih dan paling mendekati ‘maksud TUHAN’. Seringkali pemikiran ini mencibir bibir dan memandang sebelah mata beragam “konteks” di luar Alkitab. Mereka menafikan bahwa konteks budaya yang mereka pelajari sedemikian rupa adalah budaya Yahudi, bangsa yang menyangkal TUHANnya. Ternafikan bahwa nuansa Yunani-Romawi begitu mewarnai alam pikir dan budaya yang terbentuk dari kekristenan mula-mula. Pemikiran ini telah “mengeklusifkan” sedemikian rupa umat Kristen di Indonesia. Pemikiran ini tentu tidak relevan dan tidak mampu membumikan Kristen di Indonesia.
Wajah penyelenggaraan kekristenan di Indonesia terasa bernuansa ‘impor’. Gereja-gereja “tua”, dan merasa relevan dengan daerah di mana mereka berada ( entah jawa, bali, Minahasa, dan lain sebagainya), ternyata sangat tidak sesuai dengan kenyataannya. Perilaku beragama mereka mentaati putusan-putusan legal formal organisasi zendingnya. Hasilnya adalah tata ibadah yang kaku dan kurang bisa diterima masyarakat di mana dia berada. Dianggap aneh, eksklusif, dan asing. Kekristenan kontemporer selanjutnya juga membawa budaya-budaya pop (menghadap TUHAN sambil teriak-teriak, lompat-lompat) selanjutnya yang bahkan dianggap “tidak pas” dengan kultur setempat. Tidak mengherankan jika, secara subyektif dan manusiawi bila kekristenan tidak membumi di bumi Nusantara.
Catatan di atas sangat tidak selaras dengan catatan Alkitab tentang bagaimana Paulus membumikan Kristen di bumi Eropa. Rasul Paulus berada pada pergumulan yang luar biasa artinya : beragam konflik dalam pemberitaan Injilnya. Dalam tatanan keamanan dunia berada dalam masa imperialism dan invasi, dalam tatanan ekonomi berada di era feodalistik klasik, dalam tatanan budaya pemikiran di era yunani-romawi –yahudi. Luar biasa problematika Rasul Paulus. Rasul Paulus tidak pernah memaksakan keyahudian di wilayah kerja dakwahnya. Rasul Paulus tidak pernah memaksakan orang-orang Romawi-Yunani-Eropa untuk menjadi yahudi. Rasul Paulus mampu memisahkan dan mengharmonisasi antara hal-hal yang bersifat esensi dan non esensial sedemikian rupa. Tidak mengherankan jika ketuhanan Yesus Kristus diterima tanpa memaksa orang untuk berperilaku Yahudi sebagai konteks manusiawi Yesus berada.
Eropa-Amerika adalah buah kontekstualisasi Paulus. Bukan sebuah kiblat berpikir yang paling “benar” dan menjadi satu-satunya acuan Kekristenan. Sangat naif jika pemikiran dan perilaku manusia Kristen di Indonesia tersubordinat oleh hal tersebut. Kiblat berpikir dan berperilaku manusia Kristen Indonesia adalah Alkitab Firman Allah. Nilai-nilai kebenaran Firman Allah yang dibungkus dalam konteks budaya penulisnya harus dipahami jernih dan obyektif. Nilai-nilai kebenaran tersebut harus diimani dan dihidupkan sesuai konteks di mana kita berada.
Takterasa Natal 2010 akan tiba. Sebuah budaya Kristen Eropa-Amerika yang telah mendunia. Sebuah kontektualisasi budaya yang bahkan sebagian orang Kristen tidak mengerti sejarah dan esensi yang terkandung di dalamnya. Bahkan ada yang menganggap kalau tidak Natalan berdosa karena tidak menghormati Tuhannya. Konsekuensi selanjutnya adalah perayaan dan pesta luarbiasa menyambutnya. Menyambut Natal…penulis ingat saat lebaran dan iedul korban. Saat lebaran, tidak peduli apa agamanya, semua masyarakat Indonesia “lebaran”, atau Riyaya bahasa Jawanya. Penulis juga ingat waktu lebaran haji, satu kampung makan daging semua(aku dapat 5 kg-he he he), walaupun bukan Islam. Kedua hari raya tersebut begitu membumi dan dimiliki oleh semua.
Merasakan Natal, sering merasa seperti orang main sepak bola. Saat natalan, seperti orang menjalani sepakbola di stadiun dan ditonton oleh banyak orang, dan ingin melihat hasilnya. Natal belum menjadi milik semua. Masih jadi polemic bagi sebagian orang non Kristiani untuk mengucapkan selamat Natal apalagi menghadiri ibadah eh perayaannya (karena perayaannya dibarengke ibadah, he he he). Tentu tidak enak merasakan kesenangan sendiri, alangkah bahagianya bila dapat bersama-sama merasakan kebahagiaan. Perlu sebuah pemahaman ulang tentang “natal”. Pertama tentang “makna natal”, yang kedua tentang kemasannya. Sehingga makna natal mampu menyentuh semua, istilah yang lebih rohani : “memberkati”. Seperti halnya Yesus lahir untuk semua, demikian pula “natalannya” untuk semua. Umat Kristen di Indonesia perlu berpikir sedemikian rupa, sehingga tercipta sebuah perilaku peringatan kelahiran Yesus yang Indonesiawi dan membumi di Indonesia. Perlu sebuah pemahaman mendalam tentang makna teologis, dibarengi hikmat kreativitas yang luar biasa untuk menghasilkan material budaya peringatan kelahiran Yesus yang membumi di Nusantara. Sudahkah Yesus lahir di hatimu? Sudahkah alam sekitarmu tahu bahwa Yesusmu lahir? Sudahkah sukacitamu mengalir di sekitarmu? Sudahkah NATALMU MEMBUMI di pertiwi?

Oleh Kintaka Pepeling Hyang ( akhir November 2010 )

Wahabisme dan Teologi Kekerasan

Munculnya fenomena radikalisme—istilah yang sejenis dengan fundamentalisme—agama adalah tantangan besar di penghujung abad ini. Inilah penemuan terpenting Karen Armstrong dalam buku ‘The Battle for God’ yang diterjemahkan “Berperang Demi Tuhan”. Karenanya radikalisme dalam berbagai bentuknya adalah ancaman serius bagi tegaknya sebuah peradaban. Karena setiap peradaban, tidak mungkin ditegakkan tanpa mengakui bahwasannya manusia memang hidup dalam pluralitasnya. Radikalisme adalah gambaran masa depan yang suram.

Wahabisme dan Teologi Kekerasan
Francois Houtart sejak semula enggan memastikan apakah kekerasan (violent)
terkandung dalam agama ataukah tidak. Sebab menurutnya, dalam kenyataannya, akar kekerasan bisa ditemukan. Ekspansi yang dilakukan terhadap bangsa lain dengan dalih ‘pembebasan”, dianggapnya sebagai indikator akan adanya hubungan antara agama dan kekerasan secara faktual. Salah satu manifestasi kekerasan struktural adalah kekerasan politik bernuansa agama yang diganti dengan sejumlah terma yang berkonotasi negatif, seperti fundamentalisme, terorisme, radikalisme dan fanatisme. Fundamentalisme (agama), menurut J.J. Tamayo-Acosta dicirikan sebagai sikap memaksakan (bahkan dengan kekerasan) agama dan kepercayaannya kepada seluruh umat manusia. Kitab Suci adalah motor penggerak. Ia ditafsir (atau lebih tepat diterapkan) secara hurufiah, tanpa mempertimbangkan arti hermeneutisnya berupa aktualisasi pesan untuk situasi kini.
Teologi kekerasan yang dianut para radikalis ini adalah teologi Wahhabi yang didirikan Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb dari keluarga klan Tamîm yang menganut mazhab Hanbali. Dalam khotbah-khotbah Jumat di ‘Uyaynah, iaterang-terangan mengafirkan semua kaum Muslimin yang dianggapnya melakukan bid’ah [inovasi], dan mengajak kaum Muslimin agar kembali menjalankan agama seperti di zaman Nabi. Di kota ini ia mulai menggagas dan meletakkan teologi ultra-puritannya. Ia mengutuk berbagai tradisi dan akidah kaum Muslimin, menolak berbagai tafsir Al-Qur’ân yang dianggapnya mengandung bid’ah atau inovasi. Mula-mula ia menyerang mazhab Syiah, lalu kaum sufi, kemudian ia mulai menyerang kaum Sunni Segala yang dianggapnya tidak dilakukan Nabi, dianggap bid’ah. Tapi ia sendiri tidak melakukan penelitian yang cermat terhadap biografi Nabi. Itu sebabnya, tatkala pemerintah Saudi ‘terpaksa’ menggunakan telepon, TV, radio dan lain-lain, kaum Wahhabi ini melakukan perlawanan keras. Tetapi hadis-hadis yang mewajibkan Muslim taat pada pemerintah yang baik maupun yang fasik yang banyak sekali jumlahnya, digunakan pemerintah untuk menahan dan menganggap mereka sebagai pembangkang bahkan teroris. Saya tidak akan bicara panjang lebar tentang Wahhabisme di sini, tetapi lebih melihat dari ragam perspektif yang melingkupinya—meskipun belum bisa mewakili keseluruhan masalah yang berkaitan dengan radikalisme karena terbatasnya ruang.

Radikalisme Masa Orde Baru dan Sesudahnya
Selama Orde Baru, kelompok Islam moderat seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Nahdlatul Wathon dan Persis, meski dibungkam agar tidak berpolitik praktis melalui kebijakan fusi partai-partai Islam ke dalam Masyumi, tetapi difasilitasi dan dirangkul untuk memperkuat basis kultural Islam moderat melalui berbagai lembaga pendidikan, panti asuhan dan rumah sakit. Hal ini lebih merupakan keniscayaan pragmatis-politis Orde Baru yang tidak ingin kehilangan dukungan politik kaum muslimin.
Sementara kelompok Islam radikal, selain dibungkam secara politik dan kultural, juga dikejar-kejar bagai anjing kurap dengan tuduhan terlibat berbagai gerakan separatis pendirian negara Islam (DII/TII) atau pemberlakuan Syariat Islam. Dalam konfigurasi politik Orde Baru yang teramat menghegemoni, Islam radikal tak punya pilihan lain, kecuali menjadi gerakan bawah tanah. Bahkan banyak di antara tokohnya yang melarikan diri keluar negeri, lalu bergabung dengan kelompok-kelompok Islam radikal penganut Wahabisme dan terlibat dalam pertempuran di Afganistan, Palestina, Moro, etc. Ada juga yang tidak ke medan tempur, tetapi lari dari aparatur Orde Baru dengan memutuskan belajar Islam pada sejumlah perguruan tinggi Arab Saudi yang menganut Wahabisme. Merekalah yang kini menjadi tokoh-tokoh kharismatik pada berbagai ormas Islam radikal seperti MMI, Laskar Jihad dan FPI.
Semenjak Era Reformasi yang meniscayakan terbukanya kebebasan berekspresi bergulir, kelompok Islam radikal kembali menemukan momentum aktualisasi dan revitalisasi di ruang-ruang publik. Sejumlah tokohnya, seperti Abu Bakar Baasyir yang pernah dilabelkan terlibat DII/TII, para veteran perang Afganistan pun kembali ke Tanah Air. Bersama komponen yang selama Orde Baru bertahan di dalam negeri dengan gerakan bawah tanah, seperti Ja’far Umar Tholib dan Habib Riziq (keduanya selama Orde Baru menempuh jenjang pendidikan S1 di Fakultas Syari’ah King Su’ud University, Riyadh), perlahan melalui ormas-ormas Islam radikal menggerogoti citra Islam moderat yang selama ini menjadi mainstream.
Fundamentalisme Islam yang dipengaruhi Wahabisme bercirikan eksklusif, tidak toleran, skriptural-tekstual, memang tidak serta merta mendorong orang melakukan kekerasan atas nama agama. Ada tahapan pelik berupa pengalaman kekerasan menjadi kekerasan praksis. Faktor lain, adalah konstruksi sosial politik dalam negeri dan dunia internasional yang tidak imbang dan menindas. Tatanan realitas yang demikian terbelah, senjang dan dominatif, antara kaya-miskin, Barat-Islam, penindas-tertindas, kapitalis-proletar, tertidik-terabaikan dengan segenap isu-isu praksisnya, menguatkan militansi keislaman untuk mengubah realitas dengan caranya sendiri.
Tumbangnya Orde Baru membuka pintu bagi kelompok ini untuk memulai gerakan yang lebih leluasa. Mereka secara terang-terangan menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyampaikan aspirasi. Kalau sebelumnya mereka bergerak di bawah tanah, setelah era reformasi mereka lebih berani tampil ke permukaan secara terang-terangan. Ini memang menjadi bagian dari euforia kebebasan yang melanda bangsa ini. Bagi sebagian kalangan, kemunculan mereka dianggap mengkhawatirkan, bukan semata-mata karena perbedaan ideologis, tetapi lantaran sebagian di antara mereka menggunakan cara-cara kekerasan memperjuangkan aspirasi mereka. Kekerasan di sini tak hanya dalam arti fisik, tetapi juga kekerasan wacana yang terekspresi melalui kecenderungan mereka yang dengan mudah mengeluarkan fatwa murtad, kafir, syirik, dan semacamnya bahkan kepada sesama Muslim. Islam memiliki nilai-nilai yang tinggi, ultimates values, tetapi nilai-nilai itu tidak akan banyak faedahnya kalau tidak diterjemahkan secara kreatif dan kontekstual. Ketidakpekaan terhadap nilai-nilai ini, menurutnya menyebabkan umat Islam selalu mengalami ketertinggalan yang pada gilirannya cenderung merasa inferior dan sloganistik.
Munculnya kelompok Islam garis keras dipicu oleh latar belakang yang berbeda-beda, baik latar belakang politik lokal, keterpinggiran politik, tampaknya menjadi alasan utama kemunculannya. Namun demikian, ketika kelompok telah terbentuk, agama menjadi faktor legitimasi maupun perekat yang sangat penting. Dari sudut pandang teologis, mereka memahami agama secara tekstual-skripturalis serta mengabaikan faktor konteks sosial, politik serta rasional yang melatarbelakangi lahirnya sebuah doktrin atau keputusan agama yang menjadi r'aison de etre dari sebuah doktrin agama. Eksklusifisme semacam ini akan mendorong untuk melakukan kekerasan.
Gejala radikalisme di dunia Islam bukan fenomena yang datang tiba-tiba. Ia lahir dalam situasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang oleh pendukung gerakan Islam radikal dianggap sangat memojokkan umat Islam. Fenomena menguatnya radikalisme agama adalah respons sistemik dari gelombang globalisasi. Para spesialis radikalisme Islam ini menurut Quintan Wiktorowicz—dia menyebutnya aktivisme Islam—secara aktif mencari kerangka baru untuk memahami perseteruan atas nama Islam. Mereka berusaha untuk mendirikan sebuah negara Islam, dan mengusung spiritualitas Islam melalui usaha-usaha kolektif sebagai respon dari ketegangan struktural yang mengakibatkan ketidakseimbangan sistem dan ketidakstabilan politik.
Radikalisme adalah kenyataan global dan muncul pada semua keyakinan sebagai respon atas masalah-masalah yang dimunculkan modernitas. Tak terkecuali dalam Islam, paham ini pun berkecambah luas di berbagai agama: Judaisme, Kristen, Hindu, Sikh, dan bahkan Konfusianisme. Gerakan radikalisme memang tidak muncul begitu saja sebagai reaksi spontan terhadap gerakan modernisasi yang dinilai telah keluar terlalu jauh, tetapi lahir seiring dengan ditempuhnya cara ekstrim ketika jalan moderat dianggap tidak membantu. Radikalisme pun cenderung dimaknai secara pejoratif dengan ciri eksklusif, absolutis, merasa paling benar dalam memahami sesuatu, dan melakukan hal yang terkadang bertentangan dengan arus utama.
John L. Esposito, mengidentifikasi beberapa landasan ideologi yang dijumpai dalam gerakan radikalisme Islam—dia lebih suka menyebut ”Islam revivalis”. Pertama, kelompok-kelompok ini berpendapat bahwa Islam adalah sebuah pandangan hidup yang komprehensif dan bersifat total. Dengan demikian, Islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan politik, hukum dan masyarakat.
Kedua, mereka seringkali menganggap bahwa ideologi masyarakat Barat yang sekuler dan cenderung materialistis harus ditolak. Mereka juga meyakini bahwa masyarakat Muslim telah gagal membangun masyarakat beragama yang ideal karena berpaling dari ‘jalan lurus’ sesuai dengan ajaran Islam dengan mengikuti cara pandang Barat yang sekuler dan materialistis tersebut.
Ketiga, mereka cenderung mengajak pengikutnya untuk ”kembali kepada Islam” sebagai sebuah usaha untuk perubahan sosial. Perubahan ini hanya mungkin dilakukan dengan mengikuti sepenuhnya ajaran-ajaran Islam yang otentik seperti al-Qur’an dan Sunnah.
Keempat, karena ideologi masyarakat Barat harus ditolak, maka secara otomatis peraturan-peraturan sosial yang lahir dari tradisi Barat, yang banyak berkembang pada masyarakat Muslim sebagai sebuah warisan kolonialisme, juga harus ditolak. Sebagai gantinya, masyarakat Muslim harus menegakkan hukum Islam sebagai satu-satunya sumber hukum yang diterima.
Kelima, Meskipun banyak yang menganggap kelompok-kelompok ini terlalu mengagung-agungkan kejayaan Islam di masa lalu yang tercermin pada sikap puritan dalam upaya pemberlakukan system sosial dan hukum yang sesuai dengan masa Nabi Muhammad dan dengan jelas menolak ideologi Barat, tapi pada kesempatan yang sama, kelompok-kelompok ini tidak menolak modernisasi, seperti halnya mereka tidak menolak sains dan teknologi, sejauh hal-hal ini tidak bertentangan dengan standar ortodoksi keagamaan yang telah mereka anggap mapan, dan merusak sesuatu yang mereka anggap sebagai kebenaran yang sudah final. Terlebih lagi, jika memungkinkan, hal-hal itu dapat disubordinasikan ke dalam nilai-nilai dan ajaran-ajaran Islam.
Keenam, mereka berkeyakinan bahwa upaya-upaya Islamisasi pada masyarakat Muslim tidak akan berhasil tanpa menekankan aspek pengorganisasian ataupun pembentukan sebuah kelompok yang kuat. Meskipun terkadang berskala kecil, kelompok yang dibangun biasanya secara ideologi berkarakter kuat, dengan mengandalkan sebagian kelompok yang lebih terdidik dan terlatih. Dengan cara seperti inilah, mereka dapat meyakinkan para pengikutnya untuk menjalankan tugas suci keagamaan dalam rangka menegakkan hukum Islam.
Pengalaman Islam menunjukkan, sebetulnya hegemoni dan pemaksaan paham sebuah kelompok terhadap kelompok lainnya dengan tindakan kekerasan—walaupun munculnya gerakan-gerakan keras Islam tidak semuanya lahir akibat konflik atau kebencian sebagian kelompok Islam dengan Barat. Masih segar dalam ingatan kita betapa sejarah umat Islam menunjukkan bahwa kelompok Khawarij yang dengan yakinnya menganggap kelompok di luar dirinya tidak menegakkan hukum Tuhan dianggap kafir. Tentu saja jalan kekerasan dan pengkafiran terhadap kelompok lainnya bukanlah solusi yang bermanfaat secara positif bagi eksistensi kelompok maupun ajaran mereka. Hal itu terbukti dari kelompok Khawarij yang tega membunuh Ali bin Abi Thalib serta mencoba membunuh Mu'awiyah bin Abu Sufyan dan Amr bin Ash meski gagal, ajarannya tidak banyak mendapat simpati dari umat Islam dan justru dianggap sebagai ajaran sempalan yang mengajarkan kekerasan.
Inilah kehidupan keagamaan yang banyak ditemui pada masyarakat di negeri ini. Pikiran seringkali dikontraskan dengan iman. Bahkan berfikir dianggap berbahaya karena bisa membawa pada kesesatan dan kekufuran. Ilmu pengetahuan, sebagai produk dari proses berfikir, tak luput dari respon yang acuh tak acuh. Ilmu pengetahuan dianggap ”biang keladi” yang dapat merusak akidah dan memporakporandakan tatanan normatif yang sudah baku dan mapan. Mereka lebih memilih romantisme ketimbang menggali ulang tradisi yang sudah ada. Padahal romantisme akan menyebabkan umat Islam tidak kritis terhadap sejarah dan cenderung mengagung-agungkan zaman keemasan Islam yang merupakan puncak peradaban dunia di zaman pertengahan. Padahal pada zaman kejayaan itu, juga terdapat feodalisme, absolutisme, penindasan, inkuisisi terhadap ulama dan cendekiawan, bahkan banyak terjadi peperangan antara berbagai dinasti.
Khaled Abou El Fadl, pernah menyatakan, ketika sebuah kelompok atau individu sudah menganggap dirinya paling otoritatif dalam menafsirkan ajaran keagamaan, pada dasarnya mereka dengan mudah akan terjerumus pada tindakan yang bersifat otoriter. Sebab batasan antara yang otoritatif dan otoriter sangatlah tipis dan mudah berubah. Orang yang otoritatif, justru biasanya akan bersikap bijaksana, toleran, dan membuka diri berdialog dengan yang lainnya. Yang otoritatif pun dalam setiap tindakannya akan mengedepankan pengkajian secara mendalam, belajar secara sungguh, serta mendahulukan moralitas daripada nafsu. Sedangkan orang yang otoriter, dengan segala cara dia akan menunjukkan dirinya dan paham kelompoknyalah yang paling otoritatif dan wajib diikuti oleh yang lainnya.
Namun, di ruang terbatas ini, saya hendak mengajak pembaca untuk melihat kembali bahwa faktor munculnya radikalisme ekstrim bukan semata-mata dilatarbelakangi oleh faktor tunggal, yakni faktor teologis. Sungguhpun radikalisme bertentangan dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan, dan pada umumnya juga selalu berujung dengan kegagalan, namun adalah sebuah kenaifan mengkritisi fenomena radikalisme tanpa mencermati dan memahami situasi dan kondisi di seputar kemunculannya.
Ketidakadilan, kemiskinan, keterpinggiran politik, tampaknya menjadi alasan utama kemunculannya. Usaha-usaha kolektif yang dilakukan oleh radikalisme Islam ini sebagai bentuk respon dari ketegangan-ketegangan struktural yang mengakibatkan ketidakseimbangan sistem dan ketidakstabilan politik. Dalam analisis ketegangan struktural (structural strain) sebagaimana dikembangkan TR Gurr (1970), bahwa suatu gerakan sosial terjadi ditandai dengan adanya kemarahan sedemikian rupa yang disebabkan oleh adanya ketegangan sosial pada level makro dalam masyarakat. Gerakan sosial muncul dari bawah (masyarakat) ketika volume keluhan, ketidakpuasan, dan kekecewaan rakyat melampaui ambang batas tertentu. Kemunculan suatu gerakan sosial seperti halnya gerakan-gerakan keagamaan tidak lepas dari kondisi struktur sosial yang lebih luas yang melingkupinya, baik itu struktur kehidupan masyarakat maupun negara. Ketika kondisi ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang repretif, tidak sedikit manusia yang mengambil jalan “pintas” yang mengatasnamakan agama.
Asumsi bahwa penyebab radikalisme adalah karena faktor ekonomi diakui politisi Barat, seperti Martin Indyk, seorang diplomat AS. Ia memperingatkan bahwa siapa pun yang ingin mengurangi bahaya Muslim militan harus terlebih dahulu memecahkan masalah ekonomi, sosial dan politik yang menyebabkan gerakan itu menjamur. Amien Rais juga mengakui, permasalahan mendasar munculnya radikalisme ini adalah terbatasnya akses ekonomi dan pendidikan pada kelompok masyarakat, terutama kelompok minoritas. Sampai saat ini pemerintah Indonesia belum sadar, pemiskinan ekonomi menyebabkan munculnya radikalisme.
Kasus radikalisme keagamaan menunjukkan bahwa kemunculannya senantiasa berhadapan dengan rezim yang dianggap sekuler, kapitalisme yang dipandang eksploitatif, yang berdampak pada kesengsaraan rakyat akibat kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak memihak kaum marginal. Karenanya, ketidakseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi dan menghukum para koruptor kelas kakap, serta menganganya jurang ketidakadilan telah mempertajam ketegangan dan benturan politik-ideologis yang menghambat perkembangan kesadaran kebangsaan. Belum lagi minimnya basis kultural bagi terbentuknya civil society modern dalam masyarakat. Selama bangsa Indonesia yang kita cintai ini dibangun berdasarkan perekat politik ketimbang perekat budaya, maka, tidak terlalu mengherankan jika yang terjadi kemudian adalah munculnya “ledakan-ledakan sosial”. Negara dalam hal ini demikian memonopoli penciptaan idiom-idiom "identias nasional" tanpa memberi ruang bagi budaya dan entitas lokal untuk memaknai kebangsaannya.
Dengan demikian, radikalisme tidak lebih dan tidak lain merupakan sebuah bentuk antitesa spontanitas dari sebuah komunitas yang tertindas oleh tekanan modernitas yang menjurus pada otoritarianisme dengan pengalaman yang berlangsung bertahun-tahun, berada dibawah bayang-bayang modernisme yang semakin membuat mereka termarginalisasi. Sehingga mereka mengalami fobia yang begitu berat dan akut. Dalam konteks ini, munculnya radikalisme Islam sebenarnya bisa dimengerti dan merupakan respon wajar untuk mempertahankan keselamatan komunitasnya. Respons tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga, atau nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Ciri ini menunjukkan bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu program atau pandangan dunia (world view) tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang sudah ada. Mereka cenderung mengajak pengikutnya untuk ”kembali kepada Islam” sebagai sebuah usaha untuk perubahan sosial. Perubahan ini hanya mungkin dilakukan dengan mengikuti sepenuhnya ajaran-ajaran Islam yang otentik seperti al-Qur’an dan Sunnah.
Para spesialis radikalisme Islam ini secara aktif mencari kerangka baru untuk memahami perseteruan atas nama Islam. Mereka berusaha untuk mendirikan sebuah negara Islam, dan mengusung spiritualitas Islam melalui usaha-usaha kolektif sebagai respon dari ketegangan struktural yang mengakibatkan ketidakseimbangan sistem dan ketidakstabilan politik. Dalam pandangan mereka, masyarakat Muslim harus menegakkan hukum Islam sebagai satu-satunya sumber hukum yang diterima. Dan, kaum radikalis memiliki keyakinan yang kuat akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa.
Saya kira, kekerasan bukanlah merupakan sebuah tawaran yang bijak untuk menyikapi polarisasi dunia akibat tamparan hebat modernitas. Islam memiliki banyak kerangka pemikiran untuk mewujudkan perdamaian di muka bumi. Hanya saja, Islam sebagai agama yang mengajarkan perdamaian telah dicemari perilaku kekerasan. Karenanya, nilai perdamaian merupakan nilai dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam Islam, tidak ada satu ayat pun dalam al-Qur’an, dan tidak ada satu Hadis pun yang mengobarkan semangat kebencian, permusuhan, pertentangan, atau segala bentuk perilaku negatif, represif yang mengancam stabilitas dan kualitas kedamaian hidup. Tidak ada satu ayat pun dalam al-Qur’an, ketika diletakkan dalam konteks tekstual dan sejarahnya secara benar membolehkan memerangi pihak lain atas dasar keimanan, etnis, atau kebangsaan mereka. Melakukan tindak kekerasan tanpa alasan yang absah akan bertentangan dengan nilai dan prinsip kemanusiaan. Dalam al-Qur’an sendiri ada larangan untuk menebarkan kebencian (Q. 49:11), “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah suatu kaum tidak menghina kaum yang lain, karena bisa jadi mereka yang dihina lebih baik dari yang menghina.” Al-Qur’an juga melarang untuk menebarkan kekerasan (Q. 28:77). “Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Ayat Q. 49:11 di atas sebagai salah satu bentuk nasehat yang harus dipedomani oleh seorang Muslim, khususnya dalam hal melaksanakan perintah Tuhan dan Nabi tentang persaudaraan adalah larangan menebar kebencian. Sementara dalam Q. 28:77 disebutkan bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam tentu saja tidak sejalan dengan ajaran al-Qur’an, dan Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Di dalam agama sendiri sejatinya pembalasan terhadap sikap tidak baik yang dilakukan orang lain terhadap kita harus dilakukan dengan cara-cara yang lebih baik (Q. 23: 96).
Islam datang dengan prinsip kasih sayang (mahabbah), kebersamaan (ijtimâ‘iyah), persamaan (musâwah), keadilan (‘adâlah), dan persaudaraan (ukhûwah), serta menghargai perbedaan. Islam hadir untuk menyelamatkan, membela, dan menghidupkan kedamaian. Agama Islam adalah agama yang mendambakan perdamaian. Islam sendiri dari kata empat huruf (rubâ‘î) yaitu aslama-yuslimu-islâman, yang berarti mendamaikan dan menyelamatkan. Perdamaian memang impian kemanusiaan, sehingga Nabi menempatkannya pada posisi yang penting dalam ajaran Islam. Seperti yang ditunjukkan oleh persaudaraan kaum Anshar (penduduk Madinah) dan kaum Muhajirin (pendatang dari Makkah). Semangat persaudaraan inilah yang melahirkan kedamaian di setiap hati kaum muslim, dan berimbas pada rasa perdamaian dalam hubungan sosial, termasuk terhadap non-Muslim. Setiap Muslim sejatinya dapat menebarkan kedamaian dalam kehidupan sosial yang pluralistik. Kehadiran Islam semestinya bisa mendamaikan di antara dua persengketaan dan pertikaian. Hakikat keimanan seseorang ditentukan sejauhmana ia bisa melakukan aksi-aksi keselamatan, sehingga apapun persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat menurut mereka bisa diselesaikan dengan jalan damai (Q. 49: 9).
Sebuah penelitian yang mencakup umat Islam di dunia selama 6 tahun di 40 negara menyatakan, Islam adalah agama perdamaian, dan sama sekali tidak menunjukkan sikap ekstrem dan bermusuhan terhadap Amerika Serikat. John Esposito, salah seorang pengarang buku, “Who Speak For Islam” dengan mengandalkan analisis mengatakan, “Kami telah membuktikan bahwa umat Islam tidak membenci kebebasan dan demokrasi.” Umat Islam, lanjut Esposito, hanya ingin menentukan jalan hidup menurut cara mereka sendiri, bukan dengan demokrasi terbatas, yang dipaksakan dari orang-orang Amerika. Mereka tidak ingin sekularisme atau pun demokrasi. Mayoritas mereka hanya menginginkan demokrasi yang dipadu dengan nilai-nilai agama.
Penelitian itu dilakukan terhadap 50.000 Muslim di daerah perkotaan dan pedesaan dari 40 negara di Afrika, Asia, Eropa dan Timur Tengah mencakup sampel yang merepresentasikan 90% dari total 1,3 Milyar Muslim di dunia. Penelitian tersebut menyebutkan, 93% Muslim di dunia bersikap moderat. Esposito kembali menegaskan, kelompok yang menganut politik garis keras kebanyakannya lebih terpelajar, memiliki pekerjaan yang lebih mapan, bahkan mereka adalah orang-orang yang lebih optimis terhadap masa depan daripada mayoritas umat Islam lainnya. Berdasarkan hasil polling, mayoritas mereka yang dimintai pendapatnya mendukung dilakukannya perbaikan demokrasi di negara-negara mereka. Sekitar 93% WN Iran dan 94% WN Mesir mendukung pelaksanaan konstitusi di negara mereka yang memberikan lebih banyak kebebasan dalam menyampaikan pendapat dan memberikan hak-hak politik.
Perdamaian dengan demikian, merupakan khazanah keagamaan yang mesti ditanamkan kepada setiap individu, sehingga berislam adalah hidup secara damai dan memahami keragaman. Beragama tidak lagi berperang, tidak lagi membenci dan memusuhi orang lain. Sejauh upaya perdamaian dilakukan, di situlah sebenarnya esensi Islam ditegakkan. Spirit perdamaian sejatinya menjadi budaya yang menghiasi kehidupan sehari-hari. Setiap individu, keluarga, masyarakat dalam pelbagai etnis, suku, ras, dan agama sedapat mungkin mengubur segala bentuk doktrin yang bertentangan dengan nilai-nilai perdamaian.
Tugas para agamawan untuk menjelaskan kepada umat beragama bahwa kekerasan bukanlah ajaran Islam. Demikian juga yang perlu dicatat oleh Negara adalah bagaimana pelaksanaan demokrasi, yang menjunjung tinggi, antara lain, prinsip keadilan, persamaan hak, adanya partisipasi rakyat dan perlindungan HAM dapat segera diwujudkan. Demokrasi Indonesia, saya kira masih sangat lemah, jika tidak mau dikatakan rapuh. Pemerataan dan keadilan sosial masih menjadi mimpi sampai sekarang. Jika pemerintah tidak segera melakukan perubahan, maka, tidak menutup kemungkinan ancaman demi ancaman akan muncul sebagai respon dari akumulasi masif kegagalan pemerintah menangani persoalan bangsa. Dan, saya kira, radikalisme adalah salah satu bentuk paling ekstrim dalam melawan kegagalan Negara.
Tulisan ini tidak cukup memadai menjelaskan banyak hal mengenai radikalisme. Selebihnya akan saya sampaikan melalui lisan saja. Wallahu ‘A’lam bi al-Shawab.
Oleh : Moh. Shofan - Peneliti Muda Universitas Paramadina Jakarta