FOTO MASTER

FOTO MASTER

Senin, 22 November 2010

NATAL YANG MEMBUMI
Wajah kekristenan di Indonesia sebagian besar adalah wajah ‘zending’. Pemikiran dan perilaku masyarakat Kristen di Indonesia merupakan terjemahan praktis perilaku “western”(EROPA-AMERIKA). Kesimpulan subyektif ini muncul dari pengamatan terhadap beragam pemikiran dan perilaku kekristenan yang beredar di Indonesia. Dalam ranah pemikiran Kristen, beredar beragam aliran teologi yang ditengarai adalah terjemahan terhadap pemikiran-pemikiran impor.
Sebagai contoh, tentang teologi yang mengedepankan kebebasan berteologi yang akhirnya masuk kepada ranah ketuhanan dan keabsahan buku suci. Teologi ini juga sering mendengung-dengungkan kontekstualisasi teologi dan Kekristenan yang membumi. Di permukaan, kelihatannya pemikiran ini sangat membantu dan pro terhadap kebebasan berteologi. Tetapi jika dicermati, pemikiran ini sangat western filosofi, dan tidak relevan dengan konteks alam pikir ketimuran. Konteks berpikir filsafat barat sedemikian rupa mendorong kebebasan berpikir tanpa batasan “otoritas suci/TUHAN – BUKU SUCI. Hal ini tidak relevan dengan penghargaan pola pikir timur terhadap “YANG DIANGGAP SUCI”. Pemikiran Teologi Kristen yang mempermasalahkan hal Ketuhanan Yesus dan Otoritas Alkitab, tidak sesuai dengan konteks Indonesia yang “menaruh buku suci di lemari rak paling atas”. Juga tidak sesuai dengan budaya pikir yang mengagungkan para leluhur sedemikian rupa apalagi “TUHAN”.
Pemikiran lain adalah pemikiran Kristen yang sedemikian rupa mendisiplin diri pada “teks”. Pemikiran ini mengafirmasi dan jumawa tentang kajian-kajian tekstual dengan beragam prosedur di dalamnya, yang dianggap sebagai sebuah interpretasi yang sahih dan paling mendekati ‘maksud TUHAN’. Seringkali pemikiran ini mencibir bibir dan memandang sebelah mata beragam “konteks” di luar Alkitab. Mereka menafikan bahwa konteks budaya yang mereka pelajari sedemikian rupa adalah budaya Yahudi, bangsa yang menyangkal TUHANnya. Ternafikan bahwa nuansa Yunani-Romawi begitu mewarnai alam pikir dan budaya yang terbentuk dari kekristenan mula-mula. Pemikiran ini telah “mengeklusifkan” sedemikian rupa umat Kristen di Indonesia. Pemikiran ini tentu tidak relevan dan tidak mampu membumikan Kristen di Indonesia.
Wajah penyelenggaraan kekristenan di Indonesia terasa bernuansa ‘impor’. Gereja-gereja “tua”, dan merasa relevan dengan daerah di mana mereka berada ( entah jawa, bali, Minahasa, dan lain sebagainya), ternyata sangat tidak sesuai dengan kenyataannya. Perilaku beragama mereka mentaati putusan-putusan legal formal organisasi zendingnya. Hasilnya adalah tata ibadah yang kaku dan kurang bisa diterima masyarakat di mana dia berada. Dianggap aneh, eksklusif, dan asing. Kekristenan kontemporer selanjutnya juga membawa budaya-budaya pop (menghadap TUHAN sambil teriak-teriak, lompat-lompat) selanjutnya yang bahkan dianggap “tidak pas” dengan kultur setempat. Tidak mengherankan jika, secara subyektif dan manusiawi bila kekristenan tidak membumi di bumi Nusantara.
Catatan di atas sangat tidak selaras dengan catatan Alkitab tentang bagaimana Paulus membumikan Kristen di bumi Eropa. Rasul Paulus berada pada pergumulan yang luar biasa artinya : beragam konflik dalam pemberitaan Injilnya. Dalam tatanan keamanan dunia berada dalam masa imperialism dan invasi, dalam tatanan ekonomi berada di era feodalistik klasik, dalam tatanan budaya pemikiran di era yunani-romawi –yahudi. Luar biasa problematika Rasul Paulus. Rasul Paulus tidak pernah memaksakan keyahudian di wilayah kerja dakwahnya. Rasul Paulus tidak pernah memaksakan orang-orang Romawi-Yunani-Eropa untuk menjadi yahudi. Rasul Paulus mampu memisahkan dan mengharmonisasi antara hal-hal yang bersifat esensi dan non esensial sedemikian rupa. Tidak mengherankan jika ketuhanan Yesus Kristus diterima tanpa memaksa orang untuk berperilaku Yahudi sebagai konteks manusiawi Yesus berada.
Eropa-Amerika adalah buah kontekstualisasi Paulus. Bukan sebuah kiblat berpikir yang paling “benar” dan menjadi satu-satunya acuan Kekristenan. Sangat naif jika pemikiran dan perilaku manusia Kristen di Indonesia tersubordinat oleh hal tersebut. Kiblat berpikir dan berperilaku manusia Kristen Indonesia adalah Alkitab Firman Allah. Nilai-nilai kebenaran Firman Allah yang dibungkus dalam konteks budaya penulisnya harus dipahami jernih dan obyektif. Nilai-nilai kebenaran tersebut harus diimani dan dihidupkan sesuai konteks di mana kita berada.
Takterasa Natal 2010 akan tiba. Sebuah budaya Kristen Eropa-Amerika yang telah mendunia. Sebuah kontektualisasi budaya yang bahkan sebagian orang Kristen tidak mengerti sejarah dan esensi yang terkandung di dalamnya. Bahkan ada yang menganggap kalau tidak Natalan berdosa karena tidak menghormati Tuhannya. Konsekuensi selanjutnya adalah perayaan dan pesta luarbiasa menyambutnya. Menyambut Natal…penulis ingat saat lebaran dan iedul korban. Saat lebaran, tidak peduli apa agamanya, semua masyarakat Indonesia “lebaran”, atau Riyaya bahasa Jawanya. Penulis juga ingat waktu lebaran haji, satu kampung makan daging semua(aku dapat 5 kg-he he he), walaupun bukan Islam. Kedua hari raya tersebut begitu membumi dan dimiliki oleh semua.
Merasakan Natal, sering merasa seperti orang main sepak bola. Saat natalan, seperti orang menjalani sepakbola di stadiun dan ditonton oleh banyak orang, dan ingin melihat hasilnya. Natal belum menjadi milik semua. Masih jadi polemic bagi sebagian orang non Kristiani untuk mengucapkan selamat Natal apalagi menghadiri ibadah eh perayaannya (karena perayaannya dibarengke ibadah, he he he). Tentu tidak enak merasakan kesenangan sendiri, alangkah bahagianya bila dapat bersama-sama merasakan kebahagiaan. Perlu sebuah pemahaman ulang tentang “natal”. Pertama tentang “makna natal”, yang kedua tentang kemasannya. Sehingga makna natal mampu menyentuh semua, istilah yang lebih rohani : “memberkati”. Seperti halnya Yesus lahir untuk semua, demikian pula “natalannya” untuk semua. Umat Kristen di Indonesia perlu berpikir sedemikian rupa, sehingga tercipta sebuah perilaku peringatan kelahiran Yesus yang Indonesiawi dan membumi di Indonesia. Perlu sebuah pemahaman mendalam tentang makna teologis, dibarengi hikmat kreativitas yang luar biasa untuk menghasilkan material budaya peringatan kelahiran Yesus yang membumi di Nusantara. Sudahkah Yesus lahir di hatimu? Sudahkah alam sekitarmu tahu bahwa Yesusmu lahir? Sudahkah sukacitamu mengalir di sekitarmu? Sudahkah NATALMU MEMBUMI di pertiwi?

Oleh Kintaka Pepeling Hyang ( akhir November 2010 )

Tidak ada komentar: